Kamis, 24 Juni 2010

REGULASI ANTIDUMPING DALAM KERANGK A GATT/WTO DAN IMPLIKASINYA BAGI DUNIA USAHA Oleh: Yoserwan

REGULASI ANTIDUMPING DALAM KERANGK A GATT/WTO DAN IMPLIKASINYA BAGI DUNIA USAHA
Oleh: Yoserwan

I. Pendahuluan
Situasi dan kondisi perdagangan internasional dalam era globalisasi ditandai dengan semakin kompleksnya dan ketatnya persaingan antar negara. Keadaan tersebut telah menimbulkan berbagai tindakan yang menghambat perdagangan serta praktek perdagangan yang tidak jujur untuk memenangkan persaingan tersebut yang dilakukan oleh pelaku-pelaku bisnis, ataupun melalui tindakan oleh sebuah negara terhadap produk negara lainnya.
Sebenarnya habatan terhadap pasar dapat dikelompokkan atas hambatan yang bersifat tariff dan non-tariff (tariff barrier dan non-tariff barrier). Hambatan tariff merupakan pengenaan bea masuk dan bea lainnya yang tinggi sehingga oleh suatu negara sehingga barang tersebut kurang mempunyai daya saing dibanding dengan produk sejenis dalam negeri. Hambatan non-tarif berupa tindakan selain pengenaan bea terhadap barang impor, seperti penerapan standar tertentu yang sulit dicapai oleh barang impor sehingga produk tersebut tidak dapat dijual di negara tersebut
Dumping dalam perdagangan internasional sudah lama menjadi permasalahan karena dianggap sebagai salah satu praktek yang tidak adil (unfair) karena dapat menjadi distorsi prinsip ekonomi pasar. Secara lebih luas damping sebenarnya sudah dilarang oleh General Agreement on Tariff and Trade tahun 1945. Namun issu anti dumping kembali mencuat dalam Kennedy Raound 964-1967 yang melahirkan Andtidumping Code. Selanjutnya issu antidumping ditampung dalam GATT Tahun 1994 yang menjadi bagian dari WTO.
Mengingat Indonesia sebagai anggota GATT/WTO, dan dengan Undang-Undang No.7 tahun 1994 tentang ratifikasi WTO, maka Indonesia berkewajiban untuk mengikuti seluruh kesepakatan yang sudah dicapai. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut Indonesia sebenarnya sudah memberlakukan Undang-Undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan serta peraturan terkait lainnya yang mengacu pada ketentuan GATT/WTO tersebut.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas pengaturan atau pelaksanaan ketentuan anti Damping di Indonesia atau membahas secara tuntuas seluruh pengaturan GATT/WTO mengenai antidumping. Tulisan ini hanya mencoba mengkaji Pengaturan anti damping dalam Kerangka GATT/WTO serta konsekwensi dan implikasinya bagi Indonesia sebagai negara anggota. Dengan itu diharapkan memberikan gambaran secara umum tentang pengaturan Anti damping, guna mengambil langkah antisipasinya.

II. Dumping dalam Kerangka GATT/WTO
Pengaturan Antidumping dalam GATT termuat dalam Pasal VI yang memuat aturan tentang Anti-Dumpin an Countervailing Duties. Ketentuan ini pada dasarnya mengharuskan negara anggota untuk mengimplementasikan ketentuan anti dumping GATT dalam hukum nasional masing-masing. Mengingat ketentuan dalam Pasal VI tersebut hanya merupakan garis besar pengaturan antidumping, maka untuk pelaksanaannya dibuat aturan yang lebih rinci yakni dalam Antidumping Code yang mulai disepakati dalam Tokyo Round tahun 1979. Ketentuan pelaksanaan ini kemudian diganti dengan Antidumping Code tahun 1994 denga judul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994.
Antidumping Code 1994 ini pada dasarnya merupakan salah satu Multilateral Trade Agreement yang ditandatangani bersamaan dengan perjanjian pendirian WTTO yakni Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) di Marrakesh tahun 1994. Dengan demikian Antidumping Code tidak lagi perjanjian tambahan melainkan sudah menjadi bagian dari perjanjian WTO itu sendiri.
Sejalan dengan itu GATT juga mengatur masalah Subsidi yang juga dapat mengganggu upaya pencapaian sistem ekonomi pasar, sehingga menurut Pasal VI GATT tahun 1994 dapat melahirkan Countervailing Duties. Pengaturan mengenain Subsidi terapat dalam Pasal XVI GATT 1994. Sedangkan pengaturan yang lebih rinci terdapat dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures beserta peraturan tambahan yang termuat dalam Annexnya.
B. Konsep dumping
Secara umum dumping diartikan sebagai tindakan untuk mengekspor suatu produk dengan harga yang lebih rendah dari harga jual produk tersebut dalam negeri atau menjual dengan harga di bawah ongkos produksi barang tersebut. Tindakan ini biasanya dilakukan dalam rangka untuk merebut pangsa pasar di negara lain. Kerugian yang mereka alami diharapkan dalam jangka panjang akan di pulihkan kalau mereka sudah menguasai pasar sehingga bisa menjadi price leader dalam produk, dan kemudian dapat menaikan harga ke tingkat harga monopoli.
Sepintas lalu kelihatan praktek dumping sejalan dengan bersaingan bebas karena menguntungkan konsumen dengan membeli produk dengan harga yang lebih murah. Namun tidak dapat dingkari bahwa sebuah perusahaan yang memiliki posisi yang kuat bukan tidak mungkin berpeluang menjadi predator.
Dengan adanya praktek dumping maka perusahaan dalam negeri yang memproduk barang yang sama akan mengalami kerugian karena kalah bersaing dengan barang impor tersebut. Akibatnya industri produk akan terancam bangkrut dan selanjutnya secara keseluruhan negara akan dirugikan. Untuk mengindari kerugian tersebut maka negara dapat melakukan tindakan pencegahan dengan menerapkan aturan antidumping yang memungkinkan negara merepkan bea tambahan (anti-dumping duties) atas produk tersebut sehingga hargaya akan lebih tinggi. Dengan demikian produk dalam negari dapat bersaing dengan produk dumping tersebut.
Secara teoritis pengaturan damping hanya ditujukan untuk menjamin terlaksananya perdagangan yang fair. Namun dalam prakteknya pengaturan antidumping sudah menjurus untuk memproteksi produk dalam negeri. Bahkan dalam perkembangannya peraturan antidumping diterapkan oleh negara dan pengusaha suatu negara untuk mengeleminir persaingan sehingga akhirnya juga melahirkan praktek usaha yang tidak fair. Dengan dasar pertimbangan itulah lahir upaya membuat kesepakatan antar negara agar penerapan anti dumping dalam hukum nasional tidak digunakan secara semena-mena. Upaya itu akhirnya melahirkan kesepatan dalam GATT dan Antidumping Code seperti yang dikemukakan di atas. Dengan demikian ketentuan ini menjadi standar atau acuan bagi ketentuan antidumping bagi anggotanya.

III. Penentuan Dumping
Dumping dalam yang luas seperti yang dikemukakan di atas yakni tindakan mengekspor suatu produk dengan harga yang lebih rendah dari yang dijual dalam negera atau menjual produk di bawah biaya produksi, pada dasarnya belumlah menjadi perbuatan yang dilarang dan dapat melahirkan tindakan anti dumping.
Untuk dapat dilarangnya suatu dumping harus menuhi unsur-unsur yang termuat dalam Pasal VI GATT. Walaupun secara sepintas rumusan ketentuan tersebut sederhana namun dalam prakteknya membutuhkan suatu perhitungan dan kajian yang cukup kompleks untuk menentukan sudah terjadi atau tidaknya suatu dumping yang dilarang dan dapat dikenakan beamasuk antidumping.
Dalam Pasal VI GATT dinyatakan bahwa dumping yang dapat melahirkan tindakan antidumping haruslah:
a. harga produk ekspor tersebut di bawah harga normal (normal value)
b. tindaka tersebut :
i. menyebabkan kerugian material (material injury); atau
ii. mengancam tibulnya kerugian material (threaten to materially injury) bagi industri domestic produk tersebut; dan
iii. secara material menghalangi pengembangan (materially retards the establishment) industri dalam negeri.
Selanjutnya ketentuan tersebut menyatakan bahwa suatu produk dijual dalam perdagangan (introduce into the commerce) di bawah narga normal bilamana harga produk tersebut:
a. lebih rendah dari harga pembading produk (comparable price) tersebut dalam perdagangan yang normal atau umunya ordinary course of trade) dari produk sejenis (like product) yang ditujukan untuk komsumsi di negara pengekspor.
b. bila harga domestic tersebut tidak ada, maka harga tersebut harus lebih rendah dari:
i. harga pembanding tertinggi dari produk sejenis untuk diekspor ke negara ke-tiga dalam perdagangan yang normal; atau
ii. biaya produksi barang tersebut di negara asal (country of origin) ditambah dengan biaya penjualan dan keuntungan yang layak (reasonable)
A. Penentuan Harga
Persolan yang cukup pelik dalam penerapan ketentuan anti damping ini adalah penerapan secara konkrit berbagai konsep dalam ketentuan tersebut. Persoalan pertama adalah berkaitan dengan penentuan harga ekspor (export value) dan harga normal (normal value). Secara umum harga ekspor adalah: “ ex factory price without shipping charge) at which a product is sold to an unaffiliated or unrelated buyer in importing country. When a price charges for a product does not reflect an arms length or freely negotiated transaction”. (Harga pabrik tanpa dikenai biaya pengiriman dari harga tesebut dijual kepada pembeli bebas di negara pengimpor. Bila harga tersebut tidak dapat dipercaya (karena kerjasama atau pengaturan antara eksportir dan importer atau pihak ketiga, maka harga ekspor ditentukan berdasarkan harga yang dikonstruksikan (constreucted value). Dalam praktek penentuan harga itu juga mengalami berbagai penyesuaian atau adjustment sesuai dengan bentuk penjualan. Kedua pihak dapat saja berbeda dalam menentukan harga ekspor tersebut.
Harga normal ditentukan berdasarkan: “ the price at which “like product” are sold in the exporting or producing country for consumption, in the ordinary course of business and at the same level of trade- in other words, comparing wholesale sale to wholesale sale, or retail to retail- as the dumped product. If insufficient quantities of like products are sold in the exporting country with which to make a fair comparison, then normal value is calculated on the basis of sales to third countries, on the basis of constructed value. Constructed value is calculated on the basis of what it might actually cost to produced to the product in the exporting country, plus a reasonable profit. (harga jual dari produk sejenis di negara pengekspor untuk tujuan konsumsi dalam perdagangan yang biasa atau normal dan pada tingkat perdagangan yang sama.) Jika jumlah produk sejenis yang dijual di negara pengekspor tidak tidak mencukupi untuk membuat perbandingan yang benar, maka harga normak dihitung berdasarkan penjuala di negara ketiga dengan dasar harga konstruksi. Harga ini dihitung dengan dasar biaya produksi produk tersebut di negara pengekspor ditambah dengan keuntungan yang wajar). Yang pasti negara penuduh (petitioner) selalu menginginkan penilaian yang lebih rendah terhadap harga ekspor dan menaikkan perhitungan harga normal. Sedangkan pihak tertuduh tentu akan berupaya sebaliknya.
Dalam penetapan harga seperti di atas harus juga dipahami konsep terkait, terutama sekali berkaitan dengan pengertian produks sejenis (like product) dan kegiatan perdagangan yang biasa atau umum (ordinary course of trade).

Produk Sejenis
Menurut Pasal 2.6 Agreement on implementation of Article VI of the GATT, produk sejenis adalah produk yang identik dalam segala aspek dengan produk yang diduga dumping. Produk seenis itu dapat berupa:
- barang yang dijual di negara pengekspor; atau
- barang yang diekspor ke negara ketiga;
-barang yang dimpor oleh negara penuduh.
Apabila tidak terdapat produk yang sama dalam segala aspeknya maka produk sejenis adalah produk serupa yang karakternya mendekati produk yang diduga dumping.
Perdagangan yang Umum
GATT Agreement tidak menentukan maksud perdagangan yang umum. Tetapi Article 2.2 Agreement on Implemention of Article VI menentukan bahwa yang tidak termasuk peragangan yang biasa adalah produk sejenis di dalam negeri negara pengekspor atau penjualan ke suatu negara ketiga dengan harga (Fixed and variable) produksi per unit di tambah biaya umum, penjualan dan administrasi jika perbuatan dilakukan:
a. Dalam penjualan waktu (1 tahun atau tidak kurang dari enam bulan dengan jumlah yang substansial (harga penjualan rata-rata tertimbang lebih rendah dari biaya per-unit tertimbang atau volume penjualan yang di bawah biaya produksi per unit itu kurang dari 20% dari total volume penujualan yang dihitung untuk penentuannormal value; dan
b. Harga-harga penjualan di bawah biaya produksi per unit tersebut tidak dapat menutupi semua biaya dalam waktu yang wajar. Tetapi jika harga-harga penjualan di bawah biaya produksi perunit tersebut di atas biaya per unit rata-rata tertimbang selama periode diselidiki, maka harga –harga tersebut tentunya dapat mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan.
Syarat a dan b di atas bersifat kumulatif sehingga untuk mengabaikan penjualan-penjualan di bawah biaya rata-rata perunit tersebut harus memenuhi kedua syarat itu.


Konsumsi Dalam Negeri Negara Pengekspor
Agreement on Imlementation Article VI tidak menentukan dengan tegas pengertian untuk konsumsi dalam negeri. Hal itu menyulitkan bila produsen menjual ke perusahaan dalam negeri namun kemudian dieskpor dengan harga dumping.

B. Penentuan Kerugian
Dalam Pasal VI GATT kerugian akibat damping mencakup pengertian:
a. Material injury yakni kerugian yang dialami oleh industri domestic yang memproduksi barang sejenis. Kerugian dihitung dalam periode waktu yang diselidiki ( investigation period).
b. Threat to material injury yakni ancaman akan menimbulkan kerigian materil bagi industri dalam negeri yang memproduksi bang sejenis. Dengan demikian kerugian belum terlihat dalam periode waktu yang diselidiki tetapi ada ada gejala akan melahirkan kerugian.
c. Materally retards yakni mengganggu pengembangan industri dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis
Untuk menentukan kerugian yang diderita harus mengkaji faktor-faktor terkait yakni:
i. volume impor produk dumping;
ii. pengaruh impor terhadap harga produk sejenis di pasar negara pengimpor;
iii. pengaruh terhadap produsen produk sejenis.
Volume impor ditentukan berdasarkan apakah volume impor secara absolute (per unit) atau secara relative (persentase) meningkat cukup signifikan terhadap produksi atau konsumsi produk sejenis tersebut.
Pengaruh terhadap harga di negara pengimpor dipertimbangkan dari apakah harga impor lebih rendah atau telah menyebabkan terjadinya pemotongan harga yang cukup signifikan bagi barang sejenis atau apakah impor tersebut sukup berarti dalam menurunkan harga atau menekan atau mencegah kenaikan harga barang sejenis di negara pengimpor.
Pegujian dampak impor terhadp industri domestic ditentukan berdasarkan:
a. Apakah terjadi penurunan indeks dan factor ekonomi yang relevan pada industri dalam negeri di negara pengimpor seperti penurunan penjualan, laba, output, produktivitas dan yang lainnya.
b. Factor yang mempengaruhi harga dalam negeri.
c. Besarnya marjin dumping.
d. Pengaruh negatif yang nyata atau potensial pada cash flow, inventori, tenaga kerja, gaji, pertumbuhan kemampuan peningkatan modal dan investasi,

C. Hubungan sebab akibat
Harga dan dampak saja belum melahirkan dumping yang dilarang dalam kerangka WOT/GATT. Untuk itu harus dibuktikan adanya pengaruh dumping tersebut terhadap kerugian industri dalam negeri. Untuk itu harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat berdasarkan bukti yang relevan. Dengan kata lain apakah kerugian tersebut tidak disebabakan oleh faktor lain seperti kecendrungan ekonomi atau kondisi ekonomi di negara yang bersangkutan.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah:
-volume dan harga barang impor yang tidak dijual dengan harga dumping
-kontraksi permintaan;
-faktor pengekang perdagangan dan persaingan antara produsen dalam negeri dan asing;
-pengembangan teknologi
-kinerja ekspor dan produktivitas industri
Yang perlu dicermati oleh eksportir adalah penerapan indicator merugikan indusri dalam negeri oleh Aturan Antidumping yang cendrung proteksionis. Hal itu terjadi bilamana nebenarnya hubungan secara langsung dan penggunaan bukti yang tidak tepat.
IV. Konsekwensi dan Implikasi Pengaturan Antisumpung
Dengan dimuatnya pengaturan antidumping dalam GATT/WTO maka segara anggota terikat untuk mengikuti ketentuan tersbut. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, mengingat dumping dilakukan oleh pihak swasta bukan pemerintah, maka tentu saja perintah suaut negara anggota tidak termasuk pihak yang melanggar ketentuan tersebut. Negara anggota hanya berkewajiban membuat aturan antidumping yang mengacu pada Article VI GATT 1994 dan Agreement on Implementation of Article VI. Dengan demikian negara anggota hanya mungkin menghadapi konsekwesni kalau membuat aturan yang tidak sejalan dengan GATT atau salah menafsirkan ketentuan GATT tersebut.
Bila suatu negara salah menafsirkan penerapan aturan dumpingnya yang tidak sejalan dengan GATT maka negara yang produknya dituduh damping dapat membawa sengketa tersebut Dispute Settlement Body (DSB) dari WTO untuk dilakukan negosiasi dan penyelesaian negara yang bersengketa. Tentu saja pengajuan tersebut harus dengan dorongan pengusaha yang terkena dampak damping tersebut.
DSB terlebih dahulu akan memfasilitasi negosiasi antara negara yang terlibat sengketa tersebut. Kalau upaya negosiasi tidak berhasil maka DSB akan membentuk sebuah panel yang akan memeriksa dan memutus sengketa tersbut. Kewenangan panel hanya akan memeriksa apakan keputusan yang sudah diambil oleh lembaga antidumping negara yang diajukan salah (misinterpreted) dalam memahami ketentuan GATT dan peraturan pelaksananya atau apakah lembaga tersebut dalam melaksanakan prosedur antidumping tidak bias atau objektif dalam melaksakana prosedur yang termuat dalam GATT.
Kalau panel menemukan adanya pelanggaran, maka panel dapat merekomendasikan tidakan yang dapat dilakukan oleh negara yang mengajukan kasus tersebut. Sebaliknya panel tidak dapat meninjau hasil pemeriksaan atau berkaitan dengan fakta atau keputusan yang dibuat oleh lembaga antidumping suatu negara.
Implikasi yang timbul dari pengaturan dumping adalah permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha Indonesia yang melakukan ekspor ke negara lain. Walaupun setiap negara anggota WTO pada dasarnya harus memenuhi ketentuan standar yang terbuat dalam GATT dan peraturan pelaksananya, namun terdapat peraturan yang tidak sejalan dengan ketentuan tersebut, atau kesalahan dalam memuat aturan, mengingat ketentuan damping seperti ketentuan GATT/ WTO lainnya sangat rumit dan multiinterpretasi.
Di samping itu dengan semakin meningkatnya persaingan antar negara sementara kalangan melihat bahwa pelaksanaan dumping dapat menjurus kepada bentuk proteksionisme baru. Bahkan ada kekutiran penggunaan ketentuan ini oleh negara-negara maju semakin meningkat dan melahirkan proteksi yang tersembunyi:
“Part of the reason for the controversy over the use of AD duties stems from the fact that in recent years several major trading countries have used them extensively, which has raised concerns that they may have become a disguised form of protectionism At the same time a number of developing counties have started to make the use of such laws which has further heighten those concern”.

Statistik WTO menunjukkan bahwa pnyelidikan kasus antidumping oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Canada, Uni Eropah dan Australia sekitar 140 kasus per tahun. Antara tahun 1990-1994. Jumlah itu meningkat menjadi 250 kasus per tahun dalam tahun 1995-1999. Penggunnan ketentuan antidumping ini juga semakin diikuti oleh negara lain seperti Brazil, India, Meksiko dan Afrika Selatan.
Mengingat kondisi tersebut sebenarnya selain mencermati praktek dumping oleh negara lain yang berdampak terhadap industri dalam negeri, pada saat yang bersamaan kita harus mencermati penerapan ketentuan antidumping oleh negara lain yang juga tentunya akan berdampak industri atau eksportir Inonesia. Langkah yang terbaik tentu saja semaksimal mungkin menghindari tuntutan praktek dumping, sebab begitu tuntutan diajukan akan langsung berdampak terhadap ekspor karena tindakan sementara yang dapat dijatuhkan dapat memicu kenaikan harga aproduk yang sekaligus mengurangi daya saing produk Indonesia. Tak kalah pentingnya adalah peranan pengusaha dan pemerintah Indonesia untuk menjalin hubungan baik dengan dunia usaha dan pemerintahan negara lain karena ancaman antidumping dapat sebelumnya diselesaikan melalui proses negosiasi.

V. Penutup
Dengan diaturnya anti damping dalam GATT/WTO, maka setiap negara anggota berkewajiban membuat dan melaksanakan ketentuan antidumping yang mengacu kepada pengaturan tersebut. Pengaturan antidumping oleh negara anggota WTO sebaliknya menutut pelaku usaha khususnya eksportir untuk memperhatikan impor yang mereka lakukan agar tidak dituduh melakukan praktek dumping.
Ada kekuatiran ketentun antidumping dilaksanakan secara berlebihan khususnya oleh negara maju dan dipandang sebagai bentuk baru dari proteksionisme. Kecendrungan itu menuntut eksportir lebih mencermati pelaksanaan eskpornya untuk menghindari tuntutan damping oleh pihak yang dirugikan. Di pihak lain kita perlu mencermati ketentuan dan penerapan ketentuan antidumping oleh negara lain, sehinga industri dalam negeri tidak mengalami kerugian.








Daftar Pustaka
Aji Setiadi, Antidumping dalam Perspektif Hukum Indonesia, dalam PPH Newsletter, No. 43/81/Desember/2000,
John H. Jacson, International Economic Relation, Cases, Materials and Text, Fourth Edition, West Group, St. Paul Minn, 2002
Raj Bahala, Rethingking Antidumping Law, George Washington International Law Journal and Economi, Vol.1 Tahun 1995
Richard Schaffer, Baverly Early , Filiortto August, International Business Law and Its environtment, West-Thompson, USA, 2003,
Thomas L. Friedman, Understanding Globalization, The Lexus and The Olive Trees, Anchor Books, New York, 2000
http://www.kadi.or.id/materi%20produser.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar