Minggu, 27 Juni 2010

MEDIASI PERBANKAN DITINJAU DARI HUKUM PIDANA* Oleh: Yoserwan**

I. Pendahuluan
Aktivitas usaha perbankan merupakan salah satu usaha yang paling dinamis dan merupakan penggerak terpenting bagi roda aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Sebagai sebuah lembaga keuangan, bank dalam aktivitasnya menjalankan berbagai fungsi. Fungsi utama bank adalah penerima dan penyalur kredit dari dan untuk masyrakat. Di samping itu, bank juga melakukan pemberian jasa-jasa keuangan yang semakin luas seperti pelayanan dalam mekanisme pembayaran (transfer of fund), pembiayaan perdagangan luar negeri, penyimpanan barang berharga dan trust services lainnya.
Dalam pelaksanaannya, aktivitas perbankan seringkali menimbulkan persoalan hukum antara bank dengan nasabahnya baiknya yang akhirnya bermuara pada sengketa keperdataan ataupun menimbulkan kasus-kasus pidana. Tidak jarang sengketa ataupun kasus-kasus tersebut bermuara pada penyelesaian melalui pengadilan. Semuanya itu tentu membutuhkan penyelesaian yang efektif dan efisien baik untuk kepentingan bank, nasabah ataupun dunia usaha pada umumnya.
Untuk mendukung upaya penyelesaian sengketa-sengketa perbankan dalam kerangka mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan stabilitas sistem keuangan untuk mendorong pembangunan nasional, Bank Indonesia membentuk Lembaga Mediasi Perbankan yang Independen. Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006 tanggal 31 Januari 2006, tentang Mediasi Perbankan, mediasi perbankan yang untuk sementara dilaksanakan Bank Indonesia terbatas pada sengketa antara bank dengan nasabah kecil dan Usaha Mikro Kecil (UMK) dengan batas klaim maksimal sebesar Rp.500.000.000,-. Pembatasan ruang lingkup mediasi perbankan tersebut didasari oleh pertimbangan bahwa nasabah yang termasuk dalam kategori UMK memiliki keterbatasan dan hambatan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum dan atau menempuh jalur penyelesaian segketa alternatif.
Upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut tentu saja akan sangat mendukung dinia perbankan sepanjang hal itu dilakukan dengan dasar hukum yang kuat dan prosedur yang benar. Pilihan mediasi juga harus dengan kesepakatan kedua pihak dan dengan itikad baik. Disamping itu, alternatif penyelesaian sengketa sudah mempunyai landasan hukum semenjak disahkannya Undang-Undang No.19 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kalau Bank Indonesia kemudian membentuk Lembaga Mediasi Perbankan yang idependen sebagai wadah untuk menyelesaikan sengketa Perbankan antara bank dengan nasabah tang tergolong UMK tentu saja hal itu merupakan kekhususan (lex spesialis) yang berlaku bagi usaha perbankan.
Permasalahan yang mungkin timbul adalah kalau sengketa yang timbul antara bank dengan nasabah tersebut mempunyai aspek pidana, sehingga akan menimbulkan pertanyaan bagaimana konsekwensinya terhadap mediasi yang dilakukan. Mengingat persoalan yang terkait dengan perkara perbankan yang berikdikasi pidana pada dasarnya tidak melahirkan persoalan yang begitu kompleks, maka tulisan ini juga mencoba mengkaji aspek yang lebih luas yakni kemungkinan penyelesaian kasus tindak pidana perbankan melalui penyelesaian di luar pengadilan khususnya melalui mediasi. Tulisan ini pada dasarnya hanya merupakan pemikiran awal bagi pembentukan lembaga mediasi seperti yang dimaksudkan serta dalam konteks yang lebih luas yakni dalam perkara pidana perbankan.

II. Karakteristik Usaha Perbankan dan Mediasi Perbankan
Sebagai sebagai lembaga keuangan, maka bidang usaha perbankan ditandai dengan tingginya unsur kepercayaan (trust) antara lembaga perbankan dengan nasabahnya. Tanpa adanya unsur kepercayaan mustahil bank bisa menghimpun dana dari masyarakat atau sebaliknya sebagai penyalur dana kepada masyarakat. Untuk mendukung prinsip kepercayaan tersebut biasanya hukum “mempersenjatai” bank dengan rahasia perbankan “bank secrecy”, sehingga pelanggaran terhadap prinsip kerahasiaan bank diproteksi dengan sanksi pidana.
Urgennya usaha perbankan dalam perekonomian suatu bangsa juga telah melahirkan perlindungan hukum yang sangat maksimal terhadap usahan perbankan. Perlindungan itu terlihat dalam aturan yang sangat ketat untuk menerobos rahasia bank dalam hal adanya dugaaan tindak pidana dalam dunia perbankan, yakni keharusan adanya izin dari Bank Indonesia untuk membuka rekening seorang nasabah.
Secara tradisional, bila bicara perbankan maka akan lebih banyak berkaitan dengan hukum keperdataan, karena lebih menyangkut hubungan antara bank dengan nasabah dalam bidang keperdataan. Namun dalam perkembangannya bidang perbankan semakin memperlihatkan corak publiknya sehingga juga terkait dengan hukum administrasi negara. Bahkan corak publik tersebut tidak hanya tercermin dalam keterkaitan dengan hukum administrasi negara saja, melainkan juga diperkuat dengan hukum pidana.
Mengingat bidang perbankan lebih banyak terkait dengan hukum perdata, maka penyelesaian senketa yang timbul darinya juga membutuhkan penyelesaian keperdataan, khususnya melalui pengadilan. Dengan berkembangnya alternatif penyelesaian sengketa (khususnya keperdataan) di luar pengadilan maka, dengan sendirinya perkembangan tersebut juga akan membawa akibat bagi penyelesaian kasus perbankan melalui jalur luar pengadilan.
Perkembangan penyelesaian sengketa secara alternatif dalam perkara perdata khususnya yang berkaitan dengan aktivitas perekenomian, sejalan dengan tuntutan dunia usaha atau bisnis, karena aktivitas bisnis membutuhkan upaya penyelesaian yang cepat, efektif dan efisien. Dengan demikian penyelesaian melalui mekanisme mediasi sangat sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan usaha perbankan. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, maka kebutuhan tersebut sudah dapat dipenuhi. Walaupun demikian Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas perbankan menilai bahwa sengketa yang timbul antara bank dengan nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil sulit dipenuhi karena berbagai berbagai keterbatasan. Untuk membantu penyelesaian itu Bank Indonesia mengamanatkan terbentuknya lembaga mediasi independen yang dibetuk oleh asosiasi perbankan.
Keinginan Bank Indonesia untuk membentuk lembaga mediasi independen tersebut tentu saja sangat membantu dunia usaha dan perbankan pada khususnya. Namun tentu saja masih perlu dipertanyakan beberapa persoalan yang urgen terkait dengan keinginan tersebut. Misalnya, bagaimana sifat penyelesaian melalui lembaga ini, apakah merupakan keharusan bagi bank atau tetap merupakan pilihan. Kalau merupakan keharusan bagi bank, maka tentu hal itu akan bertentangan dengan prinsip mediasi itu sendiri. Tepi kalau tidak tidak merupakan keharusan, bagaimana kalau bank sebagai pihak yang punya posisi lebih kuat tidak mau membuat kesepakatan untuk menyelesaian melalui mediasi ini. Kalau keadaan demikian terjadi tentu saja lembaga ini tidak akan berarti banyak. Apa dasar pertimbangan bahwa sengketa yang bisa di bawa ke lembaga mediasi ini hanyalah tuntutan finansial paling banyak Rp.500.000.000,-? Selanjutnya bagaimana kalau sengketa tersebut mempunyai dimensi pidana atau terkait dengan pelanggaran norma hukum pidana.

III. Tindak Pidana di Bidang Perbankan dan Pertanggungjawaban Pidana
Sebelum membahas kemungkinan penyelesaian sengketa perbankan yang mempunyai aspek pidana melalui mediasi, kiranya perlu ditinjau terlebih dahulu karaktrisitik tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang perbankan dan pertanggungjawaban pidana.
Dalam literatur hukum pidana sering dibedakan antara Tindak Pidana di Bidang Perbankan dengan Tindak Pidana Perbankan. Tindak Pidana di Bidang Perbankan diartikan sebagai tindakan yang melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Jadi bank sebagai korban, ataupun bank sebagai pelaku, sehingga bisa diancam baik dengan KUHP ataupun dengan undang-undang tentang perbankan. Tindak Pidana Perbankan diartikan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang perbankan, yakni UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Sementara itu terdapat pendapat lain yang mengartikan Tindak Pidana Perbankan untuk menampung pengertian tindak pidana yang semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank. Sedangkan Tindak Pidana di Bidang Perbankan mengandung pengertian yang lebih netral dan luas karena mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan orang dalam dalam bank atau keduanya. Di samping kedua klasifikasi juridis tersebut terdapat klasifikasi yang sifatnya lebih populer yakni tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana kejahatan (crime through the bank) dan tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sasaran (crimes against the bank).
Dari konsep-konsep yang dikemukakan tersebut sebenarnya dapat dikemukakan klasifikasi yang lebih mudah dipahami, yakni tindak pidana yang melanggar undang-undang perbankan. Dalam klasifikasi ini dapat dikemukakan tindak pidan yang melanggar undang-undang Perbankan yakni:
a. tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan;
b. tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank;
c. tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pebinaan bank;
d. tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
Sebaliknya tindak pidana yang tergolong ke dalam Tindak Pidana di Bidang Perbankan, dapat melanggar Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP), undang-undang tentang lalu-lintas, tentang pencucian uang, dan mungkin tindak pidana korupsi. Dalam pembahasan ini Tindak Pidana di Bidang Perbankan mencakup semua tindak Pidana yang terkait dengan Perbankan.
Bila dilihat dari karakter yang lebih umum, sebagian sarjana menggolongkan tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana di bidang ekonomi yang juga mempunyai karakter sendiri. Menurut Mulder, hukum pidana ekonomi mempunyai ciri yakni:
a. Cepat berubah sesuai dengan kebutuhan dan keadaan;
b. Peraturan disusun dengan elastis dan tidak dapat ditempatkan di
bawah stricta interpretation;
c. Pelaksanaanya tergantung kepada pasar;
d. Sanksi dapat diperhitungkan oleh mereka yang bersangkutan.
Ciri umum dari tindak pidana atau hukum ekonomi termasuk di bidang perbankan kiranya akan lebih memperluas pemahaman tindak pidana dari konsep tradisonal yang melahirkan hak negara untuk melakukan tuntutan terhadap pelanggaran norma hukum pidana. Hal ini tentu juga akan memperluas pemahaman tindak pidana perbankan di kaitkan dengan berbagai kemungkinan penyelesaian suatu perkara pidana termasuk melalui mediasi.
Pertanggungjawaban Pidana
Dalam hukum pidana pada dasarnya setiap tindak pidana akan melahirkan pertanggungjawaban pidana (criminal liability), kecuali terdapat hal-hal atau keadaan yang menghilangkan atau menghapuskan pertanggungjawaban pidana tersebut. Sesuai dengan prinsip legalitas dalam hukum acara pidana, maka setiap kali terjadinya pelanggaran terhadap norma hukum pidana (ius Poenale) akan melahirkan hak negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan menurut hukum (ius puniendi). Terjadinya pelanggaran terhadap norma hukum pidana akan mengakibatkan bekerjanya aparatur hukum pidana dalam suatu proses hukum pidana sampai terdapatnya suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht) serta terlaksananya putusan tersebut. Dalam hukum pidana terdapat beberapa kemungkinan tidak bekerjanya (secara penuh) sistem peradilan pidana dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap norma hukum pidana. Beberapa kemungkinan itu adalah:
Pertama, bila mana tindak pidana yang terjadi tergolong kedalam delik aduan (klacht delict). Dalam keadaan seperti ini, pada umumya sistem peradilan pidana baru bekerja kalau adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Kedua, dalam hal terjadinya schikking atau pembayaran denda dalam tindak pidana yang sifatnya sangat ringan, yakni pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda sehingga prosesnya dapat dihentikan dalam taraf penyidikan.
Ketiga, Pengenyampingan perkara demi kepentingan umum atau (deponeering) yang merupakan wewenang Jaksa Agung sebagaimana tertuang diatur dalam Pasal 35 butir c Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Namun dalam realitanya mekanisme ini belum pernah dilaksanakan.
Keempat, pelaksanan diskresi kepolisian yang biasanya hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang ringan dan pelaksanaanya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dari urain di atas terlihat seakan-akan tidak terdapat ruang bagi pelaksanaan mediasi dalam perkara pidana ataupun perkara perdata (perbankan) yang mempunyai aspek pidana. Dengan semakin meningkatnya sorotan terhadap tindak pidana di bidang perbankan, semakin kuat pula tuntutan terhadap pengusutannya. Apalagi kalau kasus tersebut bernuansa korupsi. Meningkatnya keprihatinan terhadap tindak pidana perbankan disebabkan meningkatnya kasus perbankan dan nilai kerugian yang ditimbulkannya. Hal ini tentu tidak mendukung upaya penyelesaian kasus perbankan secra mediasi.

IV. Mediasi Perbankan dalam Perspektif Hukum Pidana
Walaupun doktrin hukum pidana menghendaki pertanggungjawaban pidana terhadap setiap pelaku tindak pidana, bukan berarti bahwa tidak terdapat ruang sama sekali untuk menyelesaikan kasus pidana di luar pengadilan yang menjadi salah satu dasar dari mediasi perbankan. Secara teoritis dan praktis terdapat argumentasi yang memungkinan penyelesaian kasus pidana atau lebih khusus lagi sengketa perbankan yang terkait dengan aspek pidana.
Pertama, Sanksi Pidana Sebagai ultimum remedium.
Didandingkan dengan sanksi-sanksi lainya seperti perdata dan administrasi, pidana dipandang sebagai upaya yang terakhir atau ultimum remedium. Menurut Soedarto konsekwensi dari sifat atau ciri ini, maka bilamana sarana hukum lainnya seperti pedata dan administrasi bisa atau lebih baik digunakan, maka hukum atau sanksi pidan tidak perlu digunakan. Atau dengan kata lain bila tidak perlu sekali jangan menggunakan pidana sebagai sarana. Sedangkan Rummellink mengemukakan bahwa Hukum Pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan memiliki fungsi pelajaran dan fungsi sosial. Pemahaman ini tentu membuka ruang gerak bagi penggunaan medisi perbankan kalau mekanisme ini lebih baik digunakan. Apalagi mengingat sengketa perbakan yang mempunyai aspek pidana atau tindak pidana perbankan itu sendiri tergolong ke dalam Tindak Pidana Di Biang Ekonomi yang membutkan penyelesian yang cepat, efektif an efisien. Namun semua itu tentu harus dalam kerangka hukum yakni hukum yang bersifat khusus atau (bijzondere strafrecht).
Dalam perkembangan hukum pidana terutama sekali dalan tindak pidana khusus terlihat bahwa sanksi pidana merupakan sebagai ultimum remidium. Dalam beberapa tindak pidana khusus Tindak Pidana Perpajakan, Pasar Modal, dan Tindak Pidana Perbankan dimungkinkan upaya penyelesaian melalui hukum administrasi terhadap pelanggaran undang-undang yang bersangkutan. Mekanisme sanksi administratif ini mengisyaratkan pelaksanaan prinsip ultimum remedium. Dalam undang-undang perbankan misalnya, Bank Indonesia dapat memberikan sanksi administatif. Walaupun demikian dalam undang-undang juga ditegaskan pelaksanaan sanksi administratif tidak mengurangi penerapan hukum pidana. Pengaturan seperti ini secara teoritis dapat dipertanyakan, karena pengaturan itu tidak sesuai dengan konsep ultimum remedium itu sendiri. Disamping tidak efisien, tentu akan menimbulkan pertanyaan efektivitas sanksi administratif dan pidana yang diberikan.
Di samping itu, dalam praktik sebenarnya penyelesaian kasus keperdataan yang berindikasi pidana sudah sering menggunakan penyelesian kasus pidana di luar pengadilan. Dalam penangan kasus BLBI misalnya pemerintah berupaya menyelesaian masalah tersebut terlebih dahulu melalui jalur luar pengadilan. Dari aspek dunia usaha kasus-kasus perbankan, yang bisa digolongkan sebagai “white collar crime”, akan lebih menguntungkan kalau diselesuaikan di luar mekanisme SPP seperti yang dikemukakan oleh Russel L. Blintiff:
“Since civil action is simplier and easier than criminal trial, it often supplies the best remedy for recovering property, money or taking other punitive actions in the white collar crime case. …Often the company benefits by using civil court instead of criminal court remedies in dealing with action involving white collar crime.”

Hal yang senada juga dikemukakan oleh Marshal B. Clinard dan Peter C. Yeager, bahwa dalam kejahatan korporasi (corporate crime) penerapan sanksi pidana sangat jarang dikenakan:
“The use of criminal sanction against corporate executive remains limited. In sipte of the harm that their sanctions engender, corporate offenders simply are not viewed in the same manner as are ordinary offenders. For the most part, when reference is made to the regulation of corporate behaviour by measure directed at key corporate personnel, it must be relized that such actions are in all probability going to betaken, if at all, only in the most blatant cases.”

Kedua, model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sudah dikenal dalam hukum pidana baik yang diatur dalam Pasal 82 KUHP ataupun perundang-undangan di luar diluar KUHP, baik itu melalui mekanisme sanksi administratif ataupun penyelesaian perkara secara cepat atau “schikking” oleh penyidik dengan dibayarnya maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai.
Ketiga, secara sosiologis, sebenarnya konsep mediasi sudah dilaksanakan dalam hukum adat termasuk terhadap delik-delik adat. Dalam Rancangan KUHP baru, dengan diakomodasinya sanksi adat, maka penyelesaian kasus pidana secara alternative seperti melalui mediasi tentu akan mempunyai landasan sosiologis yang kuat. Namun ruang lingkup dan pelaksanaannya tentu hanya terbatas pada delik-delik adat.
Keempat, dalam kajian kriminologis sebenarnya sudah diperkenalkan konsep “assensus model” dalam penyelesaian perkara pidana yang menginginkan penyelesaian perkara pidana melalui proses peradilan perdata. Dengan demikian prosesnya dan penyelesaian kasusnya tergantung pada kemauan dan keinginan para pihak, tidak pada kekuasaan negara melalui aparat penegak hukumnnya. Namun mengingat konsep ini masih memilih model jalur peradilan, tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang timbul dalam sebuah sistem peradilan. Di samping itu, konsep assensus model timbul dari ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan pidana yang dianggap hanya sebagai konsensus atau kesepakatan dari sekelompok elit dalam masyarakat.
Kelima, perkembangan secara internasional menunjukkan bahwa penyelesaian kasus pidana melalui jalur mediasi sudah semakin diterima. Hal itu terbukti semakin banyaknya negara yang termasuk dalam Uni Eropa mengunakan penyelsaian seperti ini:
“Mediation in criminal case expands throughout Europe, although most citizens remain unknown means of solving such a problem. Most of European Union member states carry out mediation in criminal case, but procedure and practice vary greatly between countries.”

Di Belgia misalnya penyelesaian kasus pidana secara alternative telah masuk ke dalam sistem hukum dengan Law of 22 June 2005. Undang-undang yang baru membuka kesempatan bagi korban dan pelaku untuk menyelesaiakan kasusnya secara mediasi.
Di Amerika Serikat penggunaan mediasi dalam penyelesaian kasus pidana sudah dilaksanakan tahun 1974. Di negara Bagian Ohio misalnya lembaga mediasi yang disebut dengan The Private Complaint Mediation Services (PCMS) menyediakan sarana alternative mediasi dalam menangani kasus pidana terutama terhadap tindak pidana yang tegolong ringan (misdemeanor) bagi warga. Hal ini dipraktekan oleh Hamilton County Court System).
Berkembangnya model penyelesaian kasus pidana di luar sistem peradilan pidana di Amerika sejalan dengan berkembangnya kajian-kajian ekonomi terhadap hukum (economic analysis of the law). Kajian ini mencoba mempertanyakan konsep hukum yang selama ini hanya didasari oleh pandangan doktrin hukum yang tradisional (traditional legal doctrinal concept) yang cendrung melihat hukum terpisah dari aspek kehidupan lain seperti ekonomi. Kajian-kajian ini mulai mempertanyakan efektifitas dan efisiensi hukum. Ilmu ekonomi dipandang mempunyai teori ilmiah yang baik untuk mengkaji dan memprediksi manfaat atau dampat suatu aturan hukum terutama sekali pengaruh sanksi terhadap perilaku. Khusus untuk hukum pidana kajian-kajian dari ilmu ekonomi misalnya berkaitan dengan aspek ekonomi dari kejahatan atau tindak pidana dan pemidanaan.
Di Indonesia pemikiran untuk menyelesaikan kesus pidana melalui mediasi sebenarnya sudah lama muncul. Dasar pemikiran pertama adalah seperti dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan bahwa secara sosiologis dan historis bangsa Indonesia sudah menerapkan model ini. Di samping itu, dengan beratnya beban peradilan akan mengakibatkan lahirnya permasalahan seperti biaya, sarana dan prasarana untuk menjalankan sistem peradilan.
Terdapatnya landasan teoritis, praktis dan sosiologis bagi penyelesaian perkara pidana melalui mediasi, maka pediasi perkara perbankan yang mempunyai aspek pidana sebanarnya bukanlah persoalan pelik. Permasalahan pertama adalah apakah penyelesaian perkara perdata perbankan bisa bersamaan dengan kasus pidananya?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali kepada prinsip umum bawah putusan pidana akan benjadi alat bukti dalam perkara perdata. Untuk itu tidak ada persoalan kalau perkara pidananya diselesaikan terlebih dahulu. Namun dalam kasus-kasus seperti ini bisanya bank akan sangat resisten sehinga kasus perkaranya sulit ditangani. Pertanyaannya tentu adalah apakan bank punya kemauan untuk menyelesaikanya. Untuk memperlancar pemeriksaan perkara pidana diperlukan kebijakan Bank Indonesia untuk memperlonggar penorobosan rahasia bank karena kesulitan pemeriksaan perkara pidana terletak di sana.
Walaupun demikian, masih terdapat persoalan lain yakni lamanya proses peradilan yang harus dilewati sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dapat dijadikan alat bukti dalam perkara perdata atau alasan nasbah mengkalaim dananya atau sisa dananya masih tersisa. Untuk mengatasi persoalan seperti ini sebenarnya diambul kebijakan (regulasi) yang memungkinkan bank untuk memblikir, rekening nasabah yang diduga terlibat dalam penipuan atu kalau perlu langsung mendebit dari rekening sesuai dengan jumlah yang titerima sebelumnya. Sesuai dengan prinsip “Know Your Customer” seharusnya bank sudah mengenali pelaku penipuan tersebut. Di samping itu pihak bank dan Bank Indonesia harus mengambil tindakan atas nasabahnya yang sudah melakutan tindak pidana melalui banknya.
Kedua, dengan adanya putusan pengadilan pidana yang menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana (misanya menipuan), maka seharusnya bank (diperkuat dengan perintah pengadilan) harus mengembalikan sisa dananya kepada nasabah yang dirugikan. Namun seperti dikemukan di atas, karena mekanisme ini butuh waktu seharusnya ada kebijakan atau regulasi agar bank (misalnya melalui mediasi) diberi kewenangan untuk mengembalikan dana atau sisa dana kepada nasabah yang dirugikan. Namun persoalan biasanya terletak pada kukuhnya bank mempertahankan prinsi “kepercayaan” walapun terhadap seorang yang sebenanrya tidak pantas dipercaya.

V. Kerangka Mediasi Pidana Perbankan
Dengan dimungkinkannya mediasi pidana perbankan yang memiliki aspek pidana baik dari landasan teoritis dan praktis, diperlukan pemikiran panjang dan mendalam untuk mengintrodusirnya dalam sistem hukum Indonesia. Untuk itu perlu dibahas terlebih dahulu persoalan urgen yang akan sangat menentukan nantinya dalam perwujudan mediasi dalam perkara pidana pada umumnya.
Persoalan pertama adalah apakah mediasi itu dilaksanakan dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau terpisah dari SPP. Untuk menjawab persoalan ini tentu harus dilihat kedudukan perkembangan penanganan kasusnya. Kalau kasus tersebut belum masuk dalam kerangka sistem peradilan pidana tentu akan lebih mudah menempatkannya terpisah dari sistem peradilan pidana. Sedangkan kalau kasus tersebut sudah masuk dalam kerangka sistem peradilan pidana, maka mau tidak mau penyelesaiannya harus tetap dalam kerangka SPP atau terkait dengan SPP. Dengan demikian pilihan model ini akan melibatkan sub-sistem atau komponen yang ada dalam SPP. Alternatif lain yang bisa ditempuh adalah tetap menempatkannya dalam kerangka SPP. Di negara bagian Ohio, seperti sudah disinggung di atas proses mediasi kasus pidana dilaksanakan dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana, yakni oleh Hamilton County Court System walaupun mediasinya dilaksanakan murni oleh swasta yakni oleh The Private Complaint Mediation Services (PCMS). Sedangkan di Finlandia, inisiatif untuk menempuh jalur mediasi dapat diajukan oleh polisi dan kejaksaan. Jadi masih terkait dengan SPP.
Kedua, harus ada identifikasi jenis tindak pidana yang bisa diajukan ke jalur mediasi. Kriteria umum untuk menentukan suatu perbuatan termasuk tindak pidana tercermin dalam adagium “acutus reus non facit reums nisi mens sit rea”, yakni unsur actus reus dan mens rea. Dengan demikian unrur mens rea merupakan unsur yang sangat penting, sehingga untuk tindak pidana yang tidak dengan jelas ada mens rea, potensial untuk menjadi objek mediasi perkara pidana. Di samping itu tindak pidana yang benar-benar jahat atau “mala in se” (recht delicten) sulit menjadi objek mediasi, sedangkan tindak pidana yang tergolong mala prohibita (wet delicten) potensial diselesaikan melalui mediasi. Untuk kasus yang hanya melibatkan bank dengan nasabah, dapat diselesaikan dalam jalur mediasi di luar SPP, sedangkan yang melibatkan pihak ketika tentu harus melibatkan komponen yang ada dalam SPP. Secara umum yang dapat diterima untuk diselesaiakan adalah tindak pidana yang tergolong ringan seperti pelanggaran ringan. Berikutnya adalah tinak pidana tergolong terjadi karena kelaian (culpa) ataupun tindakan yang terjadi karena kesalaran (error/dwangling) baik mengenai fakta (error in facti) atau mungkin mengenai hukumnya (error in juris). Kemungkinan ketiga adalah , tidak ada korban yang terkena langsung (victimless Crimes) dan tindak pidana yang dilakukan secara kebetulan (occasional crime). Sedangkan untuk tindak pidana yang merugikan negara, masih terbuka kemungkinan alternatif melalui mediasi, tentu saja dengan melibatkan aparatur negara sebagai salah satu pihak. Tentu saja tindak pidana yang sangat berat, atau dilakukan oleh seorang residiv atau sudah menjadi profesi tidak bisa menjadi objek penyelesaian secara mediasi.
Ketiga, institusi mediasi harus jelas apakah murni terlepas dari pemerintah atau berada dalam kerangka SPP, atau sebuah institusi yang memperoleh kewenangan dari pemerintah. Sesuai dengan sifat penyelesaian melalui mediasi yang didasari oleh itikad baik dan kesepakatan para pihak tentu saja diharapkan institusinya haruslan yang bersifat independent untuk menghindari adanya intervensi terutama dari keuasaan umum.
Keempat, harus dibuat mekanisme dan prosedul penyelesaian secara baik dan benar sesuai dengan standar-standar umum. Di Swis misalnya institusi medisi wajib menolak suatu kasus kalau terdapat indikasi bahwa mediasi diajukan karena tekanan salah satu pihak atau tekanan dari pihak lainnya.
Terakhir harus ada kepastian tentang kedudukan keputusan yang dicapai melalui mediasi. Seperti halnya dalam kasus perdata murni putusan mediasi bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dieksekusi melalui kekuasaan umum. Dalam hal perkara pidana atau perkara perdata yang terkait dengan kasus pidana, keputusan melalui mediasi juga harus mempunyai kekuatan hukum tetap.

VI. Penutup
Mediasi untuk menyelesaikan sengketa perbankan, khususnya antara bank dengan nasabah kecil dan Usaha Mikro Kecil merupakan suatu terobsan untuk menyelesaikan sengketa perbankan secara efektif dan efisien. Mediasi sengketa perbankan yang berindikasi tindak pidana, sebenarnya saling melengkapi dalam penyelesian sengketa atau perkara pidana perbankan yang terjadi. Karena sengketa pidana cukup memakan waktu, diharapkan adanya kebijakan atau regulasi bahwa kepentingan nasabah yang dirugikan oleh suatu tindak pidana harus dilindungi, walaupun perkara pidananya belum diputus.
Mengingat penyelesaian perkara perbankan membutuhkan penanganan yang efektif dan efisien, maka perlu dipertimbangankan untuk mencari alternatif penyelesaian di luar SPP terhadap tindak pidana di bidang perbankan. Terdapat landasan teoritis, praktis dan sosilogis yang kuat untuk mencari alternatif penyelesaian tindak pidana perbankan melalui jalur mediasi, baik di dalam kerangka SPP ataupun sama sekali di luar SPP.
Perlu kajian mendalam tentang tindak pidana mana saja yang bisa menjadi objek penyelesaian melalui mediasi perbankan serta intitusi yang melaksanakan mediasi dalam tindak pidana di bidang perbankan sehingga, hasilnya akan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha perbankan dan sebaliknya tidak menjadi faktor kriminogen bagi tindak pidana di bidang perbankan.






















Daftar Pustaka

A. Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi (Edisi Revisi Selaras Selaras Inpres No.4 Tahun 1985), Erlangga, Jakarta, 1991
Jan Rummellink, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal KUHP Belanda dan Padannanya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat Palayanan Keadilan dan Pengabdian Masyarakat, Jakarta, 1994
Marshal B. Cliard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1983
Marshal B. Clinard dan Richard Quinney dalam bukunya: Criminal Behaviour System, A Typology, Second Edition, Anderson Publishing Co, Cincinnati, 1986
Marwan Effendy, Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum, bahan Diskusi Terbatas Tindak Pidana Perbankan dalam Kerangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama BI dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Bukittinggi, 29-30 November 2006
Muhamad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Nicholas Mercuro, dan Steven G. Medema, Economics and the Law, From Posner to Post-Modernism, Princeton University Press, Princeton, 1997.
Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, International Edition, Pears Addison Wesley, Boston, 2003
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana, Jakarta, 2003
Russell L. Bintliff, Complete Maual of White Collar Crime, Detection and Prevention, Prentice Hall, New Jersey, 1993
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977
Sumantoro, Aspek-Aspek Pidana di Bidang Ekonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
Thomas Suyatno, et al, Kelembagaan Perbankan, Edisi Kedua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993
Russell L. Bintliff, Complete Maual of White Collar Crime, Detection and Prevention, Prentice Hall, New Jersey, 1993, hlm.12
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995
Zulkarnain Sitompul, Tindak Pidana Bidang Perbankan, dalam Jurnal Hukum dan Kriminologi Delicti, Vol.I/Juli/2003

http://www.tempointeraktif/com.ing/ekbis
http://www.eu2006ft/new_and_document
Restorative Justice Online. http://restorativejustice.org/
http://www.hamilton.co.org.
http://riaupos-com/baru/content/view/1425/
http://www.hamilton.co.org

Kamis, 24 Juni 2010

THE ENFORCEMENT OF JUDGMENT AGAINST DEFENDANT LIVING OUTSIDE THE UNITED SATETS UNDER ALIENT TORT CLAIM ACT (ATCA) By: Yoserwan

I. Introduction
The United is often look upon in the world as a last resort for fighting injustices and wrong committed by brutal, dictatorial regimes. The use of the Alien Tort Claim Act (ATCA) and the Torture Victim Protection Act (TVPA) by foreign victims provides a voice of victims of human rights atrocities and a forum to hear their claims. The litigation under those two statues has proven to be an important tool in the struggle to protect human rights. The impact of the cases decided under ATCA and TVPA on both the individual plaintiffs and the human rights movement in their home countries and elsewhere should not be underestimated.
However, none of the judgments has been paid, yet some may still be collected. It is may be true that the plaintiff in those cases are concerned about much more than money, and they take tremendous personal satisfaction from filling a lawsuit and winning a judgment. Since any judgment can not be enforced properly, the statues that have been enacted and the judgments have been granted will not appropriately reach their objectives, and all efforts spend in litigation will be useless. Besides, international law increasingly recognizes that international rights are limited significance if they can not be enforced. Therefore, it is time to find possible mechanisms in order to enforce any judgment under the ATCA against defendant living outside the United States.
The enforcement of a judgment under the ATCA against defendant living outside the United States needs international agreements that makes it possible to enforces a judgment against violation human rights under a tort claim. If there is not any international agreement on enforcing a foreign judgment under a national court it will be difficult to achieve the objectives of the ATCA and the TVPA and, consequently the human rights are still lack of protection.
This paper discusses the obstacles in enforcing a judgment against defendant living outside the United States under the ATCA and observes what efforts could be pursued in order to find mechanisms to enforce a judgment. Following this introductory remark, part II will provide the history of the ATCA and the TVPA, the development and the application of the ATCA, and international human rights and their relation to the ATCA. Part III will discuss the United States court judgments under the ATCA, obstacles in enforcing a judgment under the ATCA and possible mechanisms to enforce the judgment. Part IV will provide the conclusion, recommendations for improvement of the ATCA and international agreement on human rights protection.

II. Human Rights protection under the ATCA and International Agreements on Human Rights
In 1789, the framers of the First Judiciary Act granted to the newly federal district court original jurisdiction over civil action where an alien sues for a tort only in violation of the law of nations or a treaty of the United States. This jurisdictional grant, codified to day at 28 U.S.C § 350 and known as the Alien Tort Statue or the Alien Tort Claims Act, supported jurisdiction, in fact, only twice in nearly 200 years. That statue receives that law of nations is part of the law of the United States. Not only could the law of nations be violated by individuals but it could evidently be sued and enforced by individuals.
In Filartiga v. Pena-Irala, The court found that customary international law grants all individuals certain fundamental human rights, including the rights to be free from official torture. Since then federal courts have adopted this broad reading of the ATCA and foreign nationals have successfully adjudicated claims against human rights violator. Later decision has permitted the ATCA suits for summary execution, disappearance, prolonged arbitrary detention, and cruel, in human or degrading treatment.
Filartiga prompted Congress to pass TVPA in 1991 in order to mitigate the effects of torture on its victims. Unlike the ATCA, TPVA provides an express ten-year statue of limitations. This period selected because it insures that the Federal Courts will not have to hear stale claims. The United States Senate reported on TVPA cited examples of situations where equitable tolling should be applied to TVPA claims.
Even though some differences between two statues, the legislative history makes clear that TPVA was designed to strengthen and expand the ATCA, lessening the danger that the judiciary might reject the Filartiga court’s interpretation of the ATCA and extending coverage to claims by the United States citizens. Litigation under the ATCA and TPVA has aimed to hold accountable people who had previously been able to escape responsibility for their gross human rights violations because of the weakness of other enforcement mechanisms.
The ATCA is one of the most widely discussed provisions in modern international law. Since the Second Circuit landmark decision in Filartiga v. Pena -Irala, federal courts have developed a sophisticated jurisprudence for international human rights cases brought under the statue. However, the scope of claims available under the ATCA has recently been challenged by a series of decisions that has limited to the pleading of a restrictive category of Customary International Law known as jus cogens.
Human rights refer to a broad range of rights and freedoms to which every person is entitled. Based on standard widely accepted in the international community, these rights are inalienable, inhering in each individual by reason of humanity. The violation of these rights is presumed to have an impact on the world community in general and therefore, a cause of international concern. The Charter of the United Nations expressly promotes respect for human rights and fundamental freedoms. The Charter as a treaty is binding upon the member states. Some government and commentators take the position that the Charter’s provision regarding human rights are to vague to be legally binding. Others, however, relay upon the enumeration of specific human rights in subsequent international instrument, such as the Universal Declaration of Human Rights. It is generally recognized as defining international standards of human rights.
The development of international law also brings impacts on the protection on human rights. Prior to Word War II, international law consisted chiefly of relation between states. In traditional international law the individual played an inconspicuous part. What a state did inside its border in relation to its own nationals remained its own affair, a matter of domestic jurisdiction. Thus under traditional notions of sovereignty, the rights of individual citizens within a nation were generally beyond the scope of international law.
Following World War II especially after the Nuremberg Tribunal, there was a dramatic change in international law. Individual then become the subject of international law. The contemporary international law of human rights reflects general acceptance that how a state treats individual human being, including its own citizens, in respect of human rights, is not the state’s own business alone, but is a matter of international concern and a proper subject for regulation by nternational legal community.
The later developments of international human rights were marked by several conventions and agreements both in international level and regional level. Following The Universal Declaration on Human Rights there are the International Covenant on Civil and on Economic, Social and Cultural Rights, and The International Covenant on Civil and Political Rights further clarified the scope and definition of human rights. The development also happened at regional level such as, the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom, the American Convention on Human Rights and so on.
The limited legislative history does not indicate Congress precise purpose in enacting section 1350, but that purpose may be derived from the overreaching design of the federal judiciary, of which the statue is a part. The framers of the First Judiciary Act sought to place question of national import, such as those involving the law of nation or treaties, within the hand of the federal judiciary. The rational underlying section 1350 was much the same as that underlying the Act’s grant of diversity jurisdiction incases involving citizens of different states.
The ATCA requires a tort and a violation of international law in order for a federal court to exercise jurisdiction. With the development of international law the coverage of the ATCA should also follows the development. The judges that hear the cases have an important role in adjust the ATCA with the development in international human rights. One of the approaches that can be applied by the judges is by using Customary International Law, thus not only based on jus cogent.
III. Seeking for Mechanisms to Enforce Court Judgments against Defendant Living outside the United States.
A. Court Decisions under the ATCA and Their Enforcement
The ATCA provides jurisdiction for federal court for an action by an alien under tort only, committed in violation of a treaty of the United States or the law of nation. Even though the reasons for its inclusion in the Judiciary Act of 1789 remain unclear, Congress apparently believed that the provision of remedies in federal court for aliens victimized by violations of international law was an important aspect of the new republic’s responsibilities as a member of the community of nations. However the statue lapsed into disuse until the 1980s, when growing interest in the protection of human rights and the emergence of advocates familiar with the body of international human rights law sparked a revival.
For nearly 200 years after its passage, the ATCA was rarely used. It was not until 1980 in Filartiga, that the ATCA was successfully used to establish that the law, even when the case involves acts perpetrated in another country by a non-United States citizen. In this landmark case Paraguayan citizen successfully used the ATCA to recover the damages in the federal court from a former Paraguayan official for acts of official torture that had occurred in Paraguay.
In this case, in the district court, the case was dismissed for lack of subject matter jurisdiction. The Second Circuit reversed and remanded, sustaining jurisdiction under the Alien Tort Claims Act. Following remand the defendant defaulted. The District Court granted a default judgment and referred the question of damages to a Magistrate, who recommended awarding only compensatory damages. The plaintiff objected, and District Court awarded damages of over $10 million, including punitive damages.
There are some others court decisions that approved the application of the ATCA toward human rights violation happened in foreign country and granted remedy to the plaintiff. In Forti v. Mason, the District Court upheld jurisdiction and allowed plaintiffs’ claims of torture, prolonged arbitrary detention and summary execution to proceed, but dismissed two others claims: disappearance and cruel, inhuman or degrading treatment. Plaintiffs filed a motion for reconsideration the court granted in part, accepting the claim of disappearance and cruel but again rejecting the claim of cruel, inhuman and degrading treatment. .
In claim against former president of Philippine, the District Court of Hawaii and California dismissed five lawsuits. The Ninth Circuit reversed and remanded with an unpublished opinion. The Consolidate cases were remanded to the District Court in Hawaii, which held a three phase trial (liability, punitive damages and compensatory damages). The jury awarded a total of $1.2 billion in punitive damages and $766 in compensatory damages. The final judgment for the plaintiffs was entered in February 1995.
In the meantime, two related cases have reached the Ninth Circuit. In Trajano v. Marcos, a mother sued Marcos’ daughter, Imee Marco-Manotoc, as well as the Marcos estate, for the kidnapping, torture and murder of her son. Marcos-Manotoc appealed, challenging subject matter jurisdiction. The Ninth Circuit affirmed the default judgment. In separate appeal, the Marcos estate challenged a district court injunction freezing Marcos’ bank account in Switzerland, but the Ninth Circuit upheld the injunction.
Even though several claims under the ATCA have success and the court granted the judgment, but many others were failed due to various reasons. In Tel-Oren v. Libyan Arab Republic, the District Court dismissed the claim for lack of subject matter jurisdiction. Although unanimous in decision, to affirm dismissal, the panel divided sharply on the rationale. Judge Edwards agree with the Filartiga holding that individuals may sue for violations of the law of the nations, but found insufficient international consensus to indicate that either terrorism or nonofficial torture violate the law of nations. The Judge Bork suggested that separation of powers concern mandate requiring individual to demonstrate an express grant of private cause of action before allowing them to invoke section 1350. The judge Robb, third judge on the panel, stated that all human rights claim under section 1350 are
nonjustifiable political questions.
The decisions discussed above show that the judge are still different in understanding the ATCA, especially in the concept of law of nations. The main differences lay in the question whether the act of state and political question doctrines or separation of powers concern they embody, necessarily bar the use of section 1350 in actions, claiming of the international law of human rights. Another difference that frequently appeared in the court decision is, whether the law of nations covers the meaning of jus cogens and customary international law or just jus cogens.
In order to give more protection to human rights, the court should construe the ATCA to accommodate the evolutionary character of international law. Under proper circumstances, courts should entertain the ATCA claims for human rights violation. The approach of the courts that requiring a jus cogens threshold, threaten to undermine the ATCA’s potential by unduly restricting the scope of actionable claims and by engaging in a mere superficial glance at international law sources to determine cognizable claims.
In understanding several court decisions however, there are some promising policies taken by the court especially in granting compensatory judgment for the claimants. That policy shows that the protection of the human rights and the application of the ATCA are not just for the personal satisfaction, but also want to remedy the pain and distress suffered by the victims. And the most important thing is that the defendant should feel that they must pay include with their properties.
B. The Enforcement of Court Judgment
Even though the courts have awarded millions of dollar in judgment against violation of human rights, there still remains a more serious problem that is in the enforcement of court judgment. Multi-million dollar judgment in prior ATCA cases have gone uncollected, with the exception of a paltry $400 collection from Argentine General Suarez-Mason Within the United States, the states consider judgment of the courts of other states as foreign judgment guaranteed recognition through the Full Faith and Credit Clause of Art. IV §1 of the Constitution. Money or property judgment rendered in a federal district court must first be registered in another district by filing a certified copy of the judgment with the district court in the state. Registered judgments have the same effect as judgment of a district court of a district where registered and may be enforced in like manner. The judgment generally must be final and no longer subject to appeal, although it can be registered before all appeals are exhausted when ordered by the court that entered the judgment for good cause shown.
Enforcement of money judgments under Federal rule of procedure is achieved through a writ of execution and in accordance with the practice and procedure of the enforcing state, except that any federal statue governs to the extent that it is applicable. A wining plaintiff may obtain discovery from any person, including the judgment debtor, in seeking execution of the judgment.
The United States procedures, both at states and federal level however should have been enforced maximally to secure a judgment under ATCA. In Filartiga for instance the court failed to enforce the judgment because the defendant had been left the United States. The court should have ordered to register the defendant assets before deporting him out of the United States. It is true that there is a problem with legal certainty, because the defendant has been forced to surrender their property before the case not yet been settled. But, such a procedure should be taken to maximize the application of court judgment. However, at first, there must be some improvements of the ATCA that include mechanisms to enforce court judgment especially against defendant living the United States.
There are some problems in enforcing the compensatory judgment. First, most defendants either have no assets in the United States or arrange to transfer assets out of the country in the months or years that the litigation is spending. Second, efforts to enforce judgment in other countries face a series of difficulties: assets must be located and frozen in place while legal attachment proceedings are initiated and the foreign judicial system must be convinced to enforce the United States judgment.
C. Seeking for Possible Mechanisms to Enforce Foreign Judgment
From the past experience it seems that it was very difficult to enforce the judgment against defendant living outside the United Sates. The enforcement of foreign judgment commonly proceeds from notions of comity. Nonetheless, this approach will apply certain exceptions that may prevent enforcement. Although each state determines for its self what exceptions to apply, a failure of jurisdiction typically is included.
Such difficulties can be avoided if there is an agreement between the United Stated and the country where the defendant’s assets located. However, at present the United Stated has no treaties with any country regarding the general enforcement of money judgment. The only treaty that appears to be seriously pursued was with England. Unfortunately it was never adopted, allegedly because of serious reservation the English had regarding American tort and treble damage antitrust judgment.
It seems that the treaty is to general and raises the reservation to the England. To avoid the reservation, the scope of the treaty should be limited to the enforcement of tort in human rights violation claims. If bilateral approach results in difficulties in overcoming the problem in enforcing foreign judgment, there should have been through other approach such as regional or international agreement. First, the efforts should be directed on the countries that have the same legal historical heritage, such as countries with Anglo-American system. Because there are many similarities, it may be easier to reach multilateral agreement. Second, is through international agreement, especially under the United Nation.
The experiences also show that the United Nation has been successful in adopting several international agreements on Human Rights. If the United Nation has been successful in adopting several agreements on the protection of human rights, it should also be able to reach an agreement in finding the mechanism to enforce foreign judgment in violation of human rights? It may be need a lot of time and energy, however, such an effort must be begin from now on.
Another mechanism that can be adopted through international agreement is by extent the scope international tribunal so that it can be asked to hear a motion from a court where the judgment has been granted, to seizure or confiscate the assets or property of defendant. If such a motion be granted, the judge can ask a member state to enforce the judgment. If that is still not success, the problem can be brought to the United Nation, to be discussed in the General Assembly or Securities Council.
However, the most important is that although criminal law prosecution of those who violate human rights is an essential part in progress toward preventing and punishing such violations, the civil remedy currently should be a valuable tool as well. Thus, all effort should also be taken not only to reach a judgment, but also to enforce the judgment, through any internal, regional or international possible legal mechanism.
IV. Conclusion
The application of the ATCA and the TVPA has strengthened the protection of human rights, especially abuses committed outside the United Stated. The Filartiga has brought new approach to the protection of human rights in the United States and supported the award of civil remedy for the victim suffered form human rights abuses. However the ATCA and its application have not guaranteed the enforcement of the judgment against the defendant living outside the United States.
In order to strengthen the protection of human rights and provide the victims with financial compensation for their injuries and suffering, the ATCA should be amended with the inclusion of mechanisms to enforce the judgment. Since the application of the ATCA always involves foreign country, the United States should pursue both bilateral and multilateral agreement to find mechanisms to assure the enforcement of a judgment for foreign defendant.

REGULASI ANTIDUMPING DALAM KERANGK A GATT/WTO DAN IMPLIKASINYA BAGI DUNIA USAHA Oleh: Yoserwan

REGULASI ANTIDUMPING DALAM KERANGK A GATT/WTO DAN IMPLIKASINYA BAGI DUNIA USAHA
Oleh: Yoserwan

I. Pendahuluan
Situasi dan kondisi perdagangan internasional dalam era globalisasi ditandai dengan semakin kompleksnya dan ketatnya persaingan antar negara. Keadaan tersebut telah menimbulkan berbagai tindakan yang menghambat perdagangan serta praktek perdagangan yang tidak jujur untuk memenangkan persaingan tersebut yang dilakukan oleh pelaku-pelaku bisnis, ataupun melalui tindakan oleh sebuah negara terhadap produk negara lainnya.
Sebenarnya habatan terhadap pasar dapat dikelompokkan atas hambatan yang bersifat tariff dan non-tariff (tariff barrier dan non-tariff barrier). Hambatan tariff merupakan pengenaan bea masuk dan bea lainnya yang tinggi sehingga oleh suatu negara sehingga barang tersebut kurang mempunyai daya saing dibanding dengan produk sejenis dalam negeri. Hambatan non-tarif berupa tindakan selain pengenaan bea terhadap barang impor, seperti penerapan standar tertentu yang sulit dicapai oleh barang impor sehingga produk tersebut tidak dapat dijual di negara tersebut
Dumping dalam perdagangan internasional sudah lama menjadi permasalahan karena dianggap sebagai salah satu praktek yang tidak adil (unfair) karena dapat menjadi distorsi prinsip ekonomi pasar. Secara lebih luas damping sebenarnya sudah dilarang oleh General Agreement on Tariff and Trade tahun 1945. Namun issu anti dumping kembali mencuat dalam Kennedy Raound 964-1967 yang melahirkan Andtidumping Code. Selanjutnya issu antidumping ditampung dalam GATT Tahun 1994 yang menjadi bagian dari WTO.
Mengingat Indonesia sebagai anggota GATT/WTO, dan dengan Undang-Undang No.7 tahun 1994 tentang ratifikasi WTO, maka Indonesia berkewajiban untuk mengikuti seluruh kesepakatan yang sudah dicapai. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut Indonesia sebenarnya sudah memberlakukan Undang-Undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan serta peraturan terkait lainnya yang mengacu pada ketentuan GATT/WTO tersebut.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas pengaturan atau pelaksanaan ketentuan anti Damping di Indonesia atau membahas secara tuntuas seluruh pengaturan GATT/WTO mengenai antidumping. Tulisan ini hanya mencoba mengkaji Pengaturan anti damping dalam Kerangka GATT/WTO serta konsekwensi dan implikasinya bagi Indonesia sebagai negara anggota. Dengan itu diharapkan memberikan gambaran secara umum tentang pengaturan Anti damping, guna mengambil langkah antisipasinya.

II. Dumping dalam Kerangka GATT/WTO
Pengaturan Antidumping dalam GATT termuat dalam Pasal VI yang memuat aturan tentang Anti-Dumpin an Countervailing Duties. Ketentuan ini pada dasarnya mengharuskan negara anggota untuk mengimplementasikan ketentuan anti dumping GATT dalam hukum nasional masing-masing. Mengingat ketentuan dalam Pasal VI tersebut hanya merupakan garis besar pengaturan antidumping, maka untuk pelaksanaannya dibuat aturan yang lebih rinci yakni dalam Antidumping Code yang mulai disepakati dalam Tokyo Round tahun 1979. Ketentuan pelaksanaan ini kemudian diganti dengan Antidumping Code tahun 1994 denga judul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994.
Antidumping Code 1994 ini pada dasarnya merupakan salah satu Multilateral Trade Agreement yang ditandatangani bersamaan dengan perjanjian pendirian WTTO yakni Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) di Marrakesh tahun 1994. Dengan demikian Antidumping Code tidak lagi perjanjian tambahan melainkan sudah menjadi bagian dari perjanjian WTO itu sendiri.
Sejalan dengan itu GATT juga mengatur masalah Subsidi yang juga dapat mengganggu upaya pencapaian sistem ekonomi pasar, sehingga menurut Pasal VI GATT tahun 1994 dapat melahirkan Countervailing Duties. Pengaturan mengenain Subsidi terapat dalam Pasal XVI GATT 1994. Sedangkan pengaturan yang lebih rinci terdapat dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures beserta peraturan tambahan yang termuat dalam Annexnya.
B. Konsep dumping
Secara umum dumping diartikan sebagai tindakan untuk mengekspor suatu produk dengan harga yang lebih rendah dari harga jual produk tersebut dalam negeri atau menjual dengan harga di bawah ongkos produksi barang tersebut. Tindakan ini biasanya dilakukan dalam rangka untuk merebut pangsa pasar di negara lain. Kerugian yang mereka alami diharapkan dalam jangka panjang akan di pulihkan kalau mereka sudah menguasai pasar sehingga bisa menjadi price leader dalam produk, dan kemudian dapat menaikan harga ke tingkat harga monopoli.
Sepintas lalu kelihatan praktek dumping sejalan dengan bersaingan bebas karena menguntungkan konsumen dengan membeli produk dengan harga yang lebih murah. Namun tidak dapat dingkari bahwa sebuah perusahaan yang memiliki posisi yang kuat bukan tidak mungkin berpeluang menjadi predator.
Dengan adanya praktek dumping maka perusahaan dalam negeri yang memproduk barang yang sama akan mengalami kerugian karena kalah bersaing dengan barang impor tersebut. Akibatnya industri produk akan terancam bangkrut dan selanjutnya secara keseluruhan negara akan dirugikan. Untuk mengindari kerugian tersebut maka negara dapat melakukan tindakan pencegahan dengan menerapkan aturan antidumping yang memungkinkan negara merepkan bea tambahan (anti-dumping duties) atas produk tersebut sehingga hargaya akan lebih tinggi. Dengan demikian produk dalam negari dapat bersaing dengan produk dumping tersebut.
Secara teoritis pengaturan damping hanya ditujukan untuk menjamin terlaksananya perdagangan yang fair. Namun dalam prakteknya pengaturan antidumping sudah menjurus untuk memproteksi produk dalam negeri. Bahkan dalam perkembangannya peraturan antidumping diterapkan oleh negara dan pengusaha suatu negara untuk mengeleminir persaingan sehingga akhirnya juga melahirkan praktek usaha yang tidak fair. Dengan dasar pertimbangan itulah lahir upaya membuat kesepakatan antar negara agar penerapan anti dumping dalam hukum nasional tidak digunakan secara semena-mena. Upaya itu akhirnya melahirkan kesepatan dalam GATT dan Antidumping Code seperti yang dikemukakan di atas. Dengan demikian ketentuan ini menjadi standar atau acuan bagi ketentuan antidumping bagi anggotanya.

III. Penentuan Dumping
Dumping dalam yang luas seperti yang dikemukakan di atas yakni tindakan mengekspor suatu produk dengan harga yang lebih rendah dari yang dijual dalam negera atau menjual produk di bawah biaya produksi, pada dasarnya belumlah menjadi perbuatan yang dilarang dan dapat melahirkan tindakan anti dumping.
Untuk dapat dilarangnya suatu dumping harus menuhi unsur-unsur yang termuat dalam Pasal VI GATT. Walaupun secara sepintas rumusan ketentuan tersebut sederhana namun dalam prakteknya membutuhkan suatu perhitungan dan kajian yang cukup kompleks untuk menentukan sudah terjadi atau tidaknya suatu dumping yang dilarang dan dapat dikenakan beamasuk antidumping.
Dalam Pasal VI GATT dinyatakan bahwa dumping yang dapat melahirkan tindakan antidumping haruslah:
a. harga produk ekspor tersebut di bawah harga normal (normal value)
b. tindaka tersebut :
i. menyebabkan kerugian material (material injury); atau
ii. mengancam tibulnya kerugian material (threaten to materially injury) bagi industri domestic produk tersebut; dan
iii. secara material menghalangi pengembangan (materially retards the establishment) industri dalam negeri.
Selanjutnya ketentuan tersebut menyatakan bahwa suatu produk dijual dalam perdagangan (introduce into the commerce) di bawah narga normal bilamana harga produk tersebut:
a. lebih rendah dari harga pembading produk (comparable price) tersebut dalam perdagangan yang normal atau umunya ordinary course of trade) dari produk sejenis (like product) yang ditujukan untuk komsumsi di negara pengekspor.
b. bila harga domestic tersebut tidak ada, maka harga tersebut harus lebih rendah dari:
i. harga pembanding tertinggi dari produk sejenis untuk diekspor ke negara ke-tiga dalam perdagangan yang normal; atau
ii. biaya produksi barang tersebut di negara asal (country of origin) ditambah dengan biaya penjualan dan keuntungan yang layak (reasonable)
A. Penentuan Harga
Persolan yang cukup pelik dalam penerapan ketentuan anti damping ini adalah penerapan secara konkrit berbagai konsep dalam ketentuan tersebut. Persoalan pertama adalah berkaitan dengan penentuan harga ekspor (export value) dan harga normal (normal value). Secara umum harga ekspor adalah: “ ex factory price without shipping charge) at which a product is sold to an unaffiliated or unrelated buyer in importing country. When a price charges for a product does not reflect an arms length or freely negotiated transaction”. (Harga pabrik tanpa dikenai biaya pengiriman dari harga tesebut dijual kepada pembeli bebas di negara pengimpor. Bila harga tersebut tidak dapat dipercaya (karena kerjasama atau pengaturan antara eksportir dan importer atau pihak ketiga, maka harga ekspor ditentukan berdasarkan harga yang dikonstruksikan (constreucted value). Dalam praktek penentuan harga itu juga mengalami berbagai penyesuaian atau adjustment sesuai dengan bentuk penjualan. Kedua pihak dapat saja berbeda dalam menentukan harga ekspor tersebut.
Harga normal ditentukan berdasarkan: “ the price at which “like product” are sold in the exporting or producing country for consumption, in the ordinary course of business and at the same level of trade- in other words, comparing wholesale sale to wholesale sale, or retail to retail- as the dumped product. If insufficient quantities of like products are sold in the exporting country with which to make a fair comparison, then normal value is calculated on the basis of sales to third countries, on the basis of constructed value. Constructed value is calculated on the basis of what it might actually cost to produced to the product in the exporting country, plus a reasonable profit. (harga jual dari produk sejenis di negara pengekspor untuk tujuan konsumsi dalam perdagangan yang biasa atau normal dan pada tingkat perdagangan yang sama.) Jika jumlah produk sejenis yang dijual di negara pengekspor tidak tidak mencukupi untuk membuat perbandingan yang benar, maka harga normak dihitung berdasarkan penjuala di negara ketiga dengan dasar harga konstruksi. Harga ini dihitung dengan dasar biaya produksi produk tersebut di negara pengekspor ditambah dengan keuntungan yang wajar). Yang pasti negara penuduh (petitioner) selalu menginginkan penilaian yang lebih rendah terhadap harga ekspor dan menaikkan perhitungan harga normal. Sedangkan pihak tertuduh tentu akan berupaya sebaliknya.
Dalam penetapan harga seperti di atas harus juga dipahami konsep terkait, terutama sekali berkaitan dengan pengertian produks sejenis (like product) dan kegiatan perdagangan yang biasa atau umum (ordinary course of trade).

Produk Sejenis
Menurut Pasal 2.6 Agreement on implementation of Article VI of the GATT, produk sejenis adalah produk yang identik dalam segala aspek dengan produk yang diduga dumping. Produk seenis itu dapat berupa:
- barang yang dijual di negara pengekspor; atau
- barang yang diekspor ke negara ketiga;
-barang yang dimpor oleh negara penuduh.
Apabila tidak terdapat produk yang sama dalam segala aspeknya maka produk sejenis adalah produk serupa yang karakternya mendekati produk yang diduga dumping.
Perdagangan yang Umum
GATT Agreement tidak menentukan maksud perdagangan yang umum. Tetapi Article 2.2 Agreement on Implemention of Article VI menentukan bahwa yang tidak termasuk peragangan yang biasa adalah produk sejenis di dalam negeri negara pengekspor atau penjualan ke suatu negara ketiga dengan harga (Fixed and variable) produksi per unit di tambah biaya umum, penjualan dan administrasi jika perbuatan dilakukan:
a. Dalam penjualan waktu (1 tahun atau tidak kurang dari enam bulan dengan jumlah yang substansial (harga penjualan rata-rata tertimbang lebih rendah dari biaya per-unit tertimbang atau volume penjualan yang di bawah biaya produksi per unit itu kurang dari 20% dari total volume penujualan yang dihitung untuk penentuannormal value; dan
b. Harga-harga penjualan di bawah biaya produksi per unit tersebut tidak dapat menutupi semua biaya dalam waktu yang wajar. Tetapi jika harga-harga penjualan di bawah biaya produksi perunit tersebut di atas biaya per unit rata-rata tertimbang selama periode diselidiki, maka harga –harga tersebut tentunya dapat mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan.
Syarat a dan b di atas bersifat kumulatif sehingga untuk mengabaikan penjualan-penjualan di bawah biaya rata-rata perunit tersebut harus memenuhi kedua syarat itu.


Konsumsi Dalam Negeri Negara Pengekspor
Agreement on Imlementation Article VI tidak menentukan dengan tegas pengertian untuk konsumsi dalam negeri. Hal itu menyulitkan bila produsen menjual ke perusahaan dalam negeri namun kemudian dieskpor dengan harga dumping.

B. Penentuan Kerugian
Dalam Pasal VI GATT kerugian akibat damping mencakup pengertian:
a. Material injury yakni kerugian yang dialami oleh industri domestic yang memproduksi barang sejenis. Kerugian dihitung dalam periode waktu yang diselidiki ( investigation period).
b. Threat to material injury yakni ancaman akan menimbulkan kerigian materil bagi industri dalam negeri yang memproduksi bang sejenis. Dengan demikian kerugian belum terlihat dalam periode waktu yang diselidiki tetapi ada ada gejala akan melahirkan kerugian.
c. Materally retards yakni mengganggu pengembangan industri dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis
Untuk menentukan kerugian yang diderita harus mengkaji faktor-faktor terkait yakni:
i. volume impor produk dumping;
ii. pengaruh impor terhadap harga produk sejenis di pasar negara pengimpor;
iii. pengaruh terhadap produsen produk sejenis.
Volume impor ditentukan berdasarkan apakah volume impor secara absolute (per unit) atau secara relative (persentase) meningkat cukup signifikan terhadap produksi atau konsumsi produk sejenis tersebut.
Pengaruh terhadap harga di negara pengimpor dipertimbangkan dari apakah harga impor lebih rendah atau telah menyebabkan terjadinya pemotongan harga yang cukup signifikan bagi barang sejenis atau apakah impor tersebut sukup berarti dalam menurunkan harga atau menekan atau mencegah kenaikan harga barang sejenis di negara pengimpor.
Pegujian dampak impor terhadp industri domestic ditentukan berdasarkan:
a. Apakah terjadi penurunan indeks dan factor ekonomi yang relevan pada industri dalam negeri di negara pengimpor seperti penurunan penjualan, laba, output, produktivitas dan yang lainnya.
b. Factor yang mempengaruhi harga dalam negeri.
c. Besarnya marjin dumping.
d. Pengaruh negatif yang nyata atau potensial pada cash flow, inventori, tenaga kerja, gaji, pertumbuhan kemampuan peningkatan modal dan investasi,

C. Hubungan sebab akibat
Harga dan dampak saja belum melahirkan dumping yang dilarang dalam kerangka WOT/GATT. Untuk itu harus dibuktikan adanya pengaruh dumping tersebut terhadap kerugian industri dalam negeri. Untuk itu harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat berdasarkan bukti yang relevan. Dengan kata lain apakah kerugian tersebut tidak disebabakan oleh faktor lain seperti kecendrungan ekonomi atau kondisi ekonomi di negara yang bersangkutan.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah:
-volume dan harga barang impor yang tidak dijual dengan harga dumping
-kontraksi permintaan;
-faktor pengekang perdagangan dan persaingan antara produsen dalam negeri dan asing;
-pengembangan teknologi
-kinerja ekspor dan produktivitas industri
Yang perlu dicermati oleh eksportir adalah penerapan indicator merugikan indusri dalam negeri oleh Aturan Antidumping yang cendrung proteksionis. Hal itu terjadi bilamana nebenarnya hubungan secara langsung dan penggunaan bukti yang tidak tepat.
IV. Konsekwensi dan Implikasi Pengaturan Antisumpung
Dengan dimuatnya pengaturan antidumping dalam GATT/WTO maka segara anggota terikat untuk mengikuti ketentuan tersbut. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, mengingat dumping dilakukan oleh pihak swasta bukan pemerintah, maka tentu saja perintah suaut negara anggota tidak termasuk pihak yang melanggar ketentuan tersebut. Negara anggota hanya berkewajiban membuat aturan antidumping yang mengacu pada Article VI GATT 1994 dan Agreement on Implementation of Article VI. Dengan demikian negara anggota hanya mungkin menghadapi konsekwesni kalau membuat aturan yang tidak sejalan dengan GATT atau salah menafsirkan ketentuan GATT tersebut.
Bila suatu negara salah menafsirkan penerapan aturan dumpingnya yang tidak sejalan dengan GATT maka negara yang produknya dituduh damping dapat membawa sengketa tersebut Dispute Settlement Body (DSB) dari WTO untuk dilakukan negosiasi dan penyelesaian negara yang bersengketa. Tentu saja pengajuan tersebut harus dengan dorongan pengusaha yang terkena dampak damping tersebut.
DSB terlebih dahulu akan memfasilitasi negosiasi antara negara yang terlibat sengketa tersebut. Kalau upaya negosiasi tidak berhasil maka DSB akan membentuk sebuah panel yang akan memeriksa dan memutus sengketa tersbut. Kewenangan panel hanya akan memeriksa apakan keputusan yang sudah diambil oleh lembaga antidumping negara yang diajukan salah (misinterpreted) dalam memahami ketentuan GATT dan peraturan pelaksananya atau apakah lembaga tersebut dalam melaksanakan prosedur antidumping tidak bias atau objektif dalam melaksakana prosedur yang termuat dalam GATT.
Kalau panel menemukan adanya pelanggaran, maka panel dapat merekomendasikan tidakan yang dapat dilakukan oleh negara yang mengajukan kasus tersebut. Sebaliknya panel tidak dapat meninjau hasil pemeriksaan atau berkaitan dengan fakta atau keputusan yang dibuat oleh lembaga antidumping suatu negara.
Implikasi yang timbul dari pengaturan dumping adalah permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha Indonesia yang melakukan ekspor ke negara lain. Walaupun setiap negara anggota WTO pada dasarnya harus memenuhi ketentuan standar yang terbuat dalam GATT dan peraturan pelaksananya, namun terdapat peraturan yang tidak sejalan dengan ketentuan tersebut, atau kesalahan dalam memuat aturan, mengingat ketentuan damping seperti ketentuan GATT/ WTO lainnya sangat rumit dan multiinterpretasi.
Di samping itu dengan semakin meningkatnya persaingan antar negara sementara kalangan melihat bahwa pelaksanaan dumping dapat menjurus kepada bentuk proteksionisme baru. Bahkan ada kekutiran penggunaan ketentuan ini oleh negara-negara maju semakin meningkat dan melahirkan proteksi yang tersembunyi:
“Part of the reason for the controversy over the use of AD duties stems from the fact that in recent years several major trading countries have used them extensively, which has raised concerns that they may have become a disguised form of protectionism At the same time a number of developing counties have started to make the use of such laws which has further heighten those concern”.

Statistik WTO menunjukkan bahwa pnyelidikan kasus antidumping oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Canada, Uni Eropah dan Australia sekitar 140 kasus per tahun. Antara tahun 1990-1994. Jumlah itu meningkat menjadi 250 kasus per tahun dalam tahun 1995-1999. Penggunnan ketentuan antidumping ini juga semakin diikuti oleh negara lain seperti Brazil, India, Meksiko dan Afrika Selatan.
Mengingat kondisi tersebut sebenarnya selain mencermati praktek dumping oleh negara lain yang berdampak terhadap industri dalam negeri, pada saat yang bersamaan kita harus mencermati penerapan ketentuan antidumping oleh negara lain yang juga tentunya akan berdampak industri atau eksportir Inonesia. Langkah yang terbaik tentu saja semaksimal mungkin menghindari tuntutan praktek dumping, sebab begitu tuntutan diajukan akan langsung berdampak terhadap ekspor karena tindakan sementara yang dapat dijatuhkan dapat memicu kenaikan harga aproduk yang sekaligus mengurangi daya saing produk Indonesia. Tak kalah pentingnya adalah peranan pengusaha dan pemerintah Indonesia untuk menjalin hubungan baik dengan dunia usaha dan pemerintahan negara lain karena ancaman antidumping dapat sebelumnya diselesaikan melalui proses negosiasi.

V. Penutup
Dengan diaturnya anti damping dalam GATT/WTO, maka setiap negara anggota berkewajiban membuat dan melaksanakan ketentuan antidumping yang mengacu kepada pengaturan tersebut. Pengaturan antidumping oleh negara anggota WTO sebaliknya menutut pelaku usaha khususnya eksportir untuk memperhatikan impor yang mereka lakukan agar tidak dituduh melakukan praktek dumping.
Ada kekuatiran ketentun antidumping dilaksanakan secara berlebihan khususnya oleh negara maju dan dipandang sebagai bentuk baru dari proteksionisme. Kecendrungan itu menuntut eksportir lebih mencermati pelaksanaan eskpornya untuk menghindari tuntutan damping oleh pihak yang dirugikan. Di pihak lain kita perlu mencermati ketentuan dan penerapan ketentuan antidumping oleh negara lain, sehinga industri dalam negeri tidak mengalami kerugian.








Daftar Pustaka
Aji Setiadi, Antidumping dalam Perspektif Hukum Indonesia, dalam PPH Newsletter, No. 43/81/Desember/2000,
John H. Jacson, International Economic Relation, Cases, Materials and Text, Fourth Edition, West Group, St. Paul Minn, 2002
Raj Bahala, Rethingking Antidumping Law, George Washington International Law Journal and Economi, Vol.1 Tahun 1995
Richard Schaffer, Baverly Early , Filiortto August, International Business Law and Its environtment, West-Thompson, USA, 2003,
Thomas L. Friedman, Understanding Globalization, The Lexus and The Olive Trees, Anchor Books, New York, 2000
http://www.kadi.or.id/materi%20produser.htm

Kamis, 17 Juni 2010

Selasa, 08 Juni 2010

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG EKONOMI DI INDONESIA

Artikel Penelitian

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG EKONOMI DI INDONESIA
Oleh:
Yoserwan, SH.MH.LLM.


Abstract
Untuk menanggulangi tindak pidana yang terjadi di bidang ekonomi, negara sudah membuat berbagai undang-undang yang terkait dengan tindak pidana ekonomi. Keberhasilan suatu peraturan mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh kebijakan hukum pidana yang terkandung di dalamnya. Ternyata bahwa kebijakan hukum pidana dalam berbagai undang-undang terkait dengan tindak pidana ekonmi, tidak konsisten, tidak sinkron dan tidak harmonis satu sama lain. Hal itu terlihat baik dalam perumusan delik, unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana, kebijakan dalam pidana dan pemidanaan, kebijakan dalam aturan penyidikan serta koordinasi antara aparat penegak hukum terkait. Untuk mendukung keberhasilan penegakan hukum pidana di bidang ekonomi, perlu ditetapkan kebijakan hukum pidana yang memperhatikan konsistensi, sinkronisasi dan harmonisasi, berbagai peraturan terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi.

Kata Kunci: Kebijakan hukum pidana, tindak pidana di bidang ekonmi, sinkronisasi


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pembangunan di bidang hukum merupakan salah satu bidang yang sangat menentukan bagi terlaksananya pembangunan bidang lainnya. Salah satu bidang yang berdampak luas adalah tindak pidana ekonomi karena berdampak luas bagi upaya pembangunan ekonomi oleh pemerintah. Misalnya, kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang perbakan. Selama tahun 2006 total kerugian akibat tindak pidana perbankan mencapai Rp.5,3 trilliun dan 52 juta dollar. Dalam kurun waktu tersebut terjadi 130 kasus. Dari jumlah tersebut baru 19 kasus yang diselesaikan penyidikannya.
Fenomena yang sama juga terjadi secara internasional. Rekayasa laporan keuangan (accounting fraud) oleh perusahaan Enron Corp dam World Com Inc. misalnya telah merugikan masyarakat secara luas di Amerika Serikat. Hal yang sama juga terjadi di negara lain seperti di Belanda, yang dilakukan oleh Royal Ahold NV. Kasus terakhir yang sangat fenomenal dalam kejahatan ekonomi adalah terungkapnya penipuan di bidang investasi yang dilakukan oleh Benard Madoff, mantan CEO Nasdak, sebuah perusahaan sekuritas terbesar di Amerika serikat, yang merugikan milyaran dollar investor di berbagai negara.
Berbagai persoalan dalam tindak pidana sebanarnya bukan merupakan persoalan baru, karena aktivitas perekonomian sangat sarat dengan berbagai terjadinya pelanggaran. Oleh sebab itu negara sebenarnya telah berupaya untuk melakukan tindakan atau kebijakan dalam upaya penanggulangannya, khususnya melalui sarana hukum pidana. Kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi itu sebenarnya sudah dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.7 /drt/ tahun 1955. Undang-undang ini dibuat untuk membantuk negara dalam mengatasi berbagai persoalan ekonomi pada saat itu
Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan berkembangnya aktivitas perekonomian, semakin berkembang pula bentuk dan modus operandi perbuatan yang merugikan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi. Oleh sebab itu, berbagai peraturan pidana di bidang ekonomi kemudian dikeluarkan lagi dalam berbagai sektor perekonomi. Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah dibuat, namun dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya.
Permasalahan tersebut pertama, terkait dengan fungsi hukum pidana ekonomi sebagai fungsi primer atau sekunder. Kedua, kebijakan dalam pidana dan pemidanaan, dan ketiga kebijakan dalam penyidikan dan koordinasi penyidikan. Keempat kebijakan dalam upaya pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut.

B. Rumusan Permasalahan
Dari uraian tentang kondisi tindak pidana di bidang ekonomi yang terjadi di Indonesia seperti dikemukakan sebelumnya dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam pengaturan tindak pidana di bidang ekonomi oleh lembaga legislatif?
2. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam hubungannya dengan fungsi hukum pidana dalam penangulangan tindak pidana di bidang ekonomi?
3. Bagaimana kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang terdapat berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pidana ekonomi?
4. Bagaimana sinkronisaisi aturan tugas dan wewenang aparat penegak hukum terkait dalam berbagai aturan pidana di bidang ekonomi?
5. Bagaimana koordinasi pelaksanaan tugas dan wewenang aparat penegak hukum terkait dalam penegakan hukum pidana di bidang ekonomi?

C. Tujuan dan Urgensi Penelitian

Dari permasalahan seperti dikemukakan sebelumnya, maka dirumuskan tujuan-tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini yakni:
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam pembentukan hukum pidana di bidang ekonomi oleh lembaga legislatif.
2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam penempatan fungsi hukum pidana dalam fungsi primer atau sekunder.
3. Untuk mengetahui kebijakan pidana dan pemidanaan dalam Hukum Pidana di Bidang Ekonomi.
4. Untuk mengetahui sinkronisasi berbagai aturan hukum pidana di bidang ekonomi.
5. Untuk mengetahui koordinasi antara penegak hukum terkait dalam pemberantasan tindak pidana di bidang ekonomi.
Upaya penanggulangan suatu tindak pidana atau kejahatan membutuhkan adanya suatu kebijakan kriminal dan politik hukum pidana yang tepat. Tindak pidana di bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang mempunyai ciri tersendiri yakni menonjolnya aspek atau motif ekonomi sehingga juga membutuhkan kebijakan yang sesuai dengan aspek ekonomi itu sendiri.
Kebijakan pidana di bidang ekonomi dimulai dengan pembentukan substansi atau aturan hukum pidana ekonomi. Oleh sebab, itu agar penanggulangan tindak pidana ekonomi dapat berjalan dengan baik perlu dimulai dengan pembentukan norma hukum pidana di bidang ekonomi yang memenuhi aspek fislosifis, sosiologis dan normatif.
Persoalan utama yang terdapat dalam kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi adalah tidak jelasnya fungsi hukum pidana apakah sebagai fungsi sekunder atau primer dalam penanggulangan tindak pidana ekonomi. Oleh sebab itu penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya kebijakan hukum pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan pidana ekonomi sehingga dengan itu nantinya bisa dirumuskan suatu kebijakan yang jelas dan konsisten.
Sistem sanksi merupakan bagian terpenting dari suatu substansi hukum pidana., yang merupakan wujud konkrik dari reaksi masyarakat terhadap suatu tindak pidana yang diterapkan oleh negara melalui aparatur penegak hukumnya. Sistem sanksi merupakan wujud keadilan antara pelaku tindak pidana dengan masyarakat. Di dalamnya terdapat berbagai upaya untuk memperbaiki masyarakat khususnya pelaku tindak pidana. Oleh sebab itu kebijakan dalam perumusan sanksi dalam tindak pidana ekonomi harus dilakukan dengan tepat. Semua itu membutuhkan adanya suatu kajian tentang perumusan sanksi dan penerapan sanksi dalam tindak pidana ekonomi, agar sanksi tersebut dapat mencapai tujuan pemidanaan.
Suatu norma hukum membutuhkan suatu sistem penegakan hukum baik melalui aturan hukum acara pidana ataupun melalui institusi atau aparatur penegak hukum. Penegakan hukum membutuhkan sinkronisasi dan koordinasi berbagai sub sistem terkait. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya kajian tentang sinkronisasi dan koordinasi antar berbagai sub sistem terkait dalam penaggulangan tindak pidana di bidang ekonomi sehingga hasilnya lebih optimal.
Masih sedikitnya kajian baik secara normatif ataupun sosiologis tentang tindak pidana ekonomi membutuhkan adanya suatu kajian yang mendalam dan komprehensif sehingga dapat memberikan masukan dalam perumusan dan pembentukan kebijakn hukum pidana dalam tindak pidana di bidang ekonomi. Sekaligus hasil kajian ini diharapkan dapat memberi referensi khususnya bagi penegak hukum dalam tindak pidana ekonomi atau memberikan referensi bagi kajian akademik.

II. HUKUM PIDANA DI BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
Pembangunan di bidang hukum merupakan salah satu bidang yang sangat menentukan bagi terlaksananya pembangunan bidang lainnya seperti bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Pembangunan di bidang hukum harus ditujukan kepada penegakan hukum atau rule of law dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia serta peningkatan harkat dan martabat manusia.
Salah satu bidang penegakan hukum adalah bidang penegakan hukum pidana untuk memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang sudah dilanggar oleh suatu tindak pidana, serta untuk menciptakan rasa ketertiban dan keamanan dalam masyarakat (Purbacaraka, 1982:1). Penegakan hukum pidana seperti juga penegakan hukum pada umumnya harus mencakup tiga komponen seperti yang dikemukakan oleh W Friedmann yakni substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga komponen itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Substansi hukum atau materi hukum merupakan cikal bakal dari negara hukum dan penegakan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, pembentukan substansi hukum sangat menentukan dalam pembentukan negara hukum dan pelaksanaan aturan hukum itu sendiri.
Pembentukan substansi hukum dimulai dari suatu kebijakan hukum atau politik hukum yang merupakan suatu proses pemilihan norma-norma hukum, penetapan norma hukum dan pelaksanaan atau penegakan norma hukum tersebut. Oleh sebab, itu kebijakan hukum memegang peranan penting dalam pembentukan substansi hukum apapaun, termasuk hukum pidana. Hukum pidana sebagai salah satu bidang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hidup dan kehidupan manusia juga membutuhkan adanya suatu kebijakan hukum agar tujuan hukum pidana tersebut bisa dicapai.
Salah satu bidang hukum pidana yang selalu berkembang adalah hukum pidana di bidang ekonomi, karena bidang hukum ini selalu mengikuti perkembang ekonomi. Aktivitas perekonomian berkembang dengan pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Mengingat norma hukum bersifat statis, sedangkan kehidupan masyarakat terutama kehidupan ekonomi sangat dinamis, maka norma hukum biasanya selalu terlambat. Akibatnya, aturan hukum pidana di bidang ekonomi akan ketinggalan dengan perkembangan ekonomi, termasuk kejahatan yang terjadi di bidang ekonomi. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya suatu aturan hukum yang adaptif terhadap perkembangan ekonomi.
Perkembangan aktivitas perekonomian telah pula melahirkan bentuk kejahatan yang merugikan dan membahayakan kehidupan. Kalau sebelumnya orang tidak mengenal cyber crime, sekarang orang sangat akrab dengan dengan istilah itu dan sudah banyak yang menjadi korban. Kalau dalam dekade delapan puluhan orang tidak begitu risau dengan kejahatan perbankan, pasar modal, lingkungan hidup, dan berbagai kejahatan di bidang perekonomian lainnya, sekarang kejahatan itu sudah sangat merisaukan, bahkan secara kuantitas ataupun kualitas jauh lebih tinggi dari pada kejahatan konvensional.(Conklin, 1989;29)
Berbagai gambaran tentang kejahatan di bidang ekonomi, sering tergambar dari berbagai laporan media masa ataupun laporan institusi pemerintah. Salah satunya adalah kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang perbakan. Selama tahun 2006 total kerugian akibat tindak pidana perbankan mencapai Rp.5,3 trilliun dan 52 juta dollar. Dalam kurun waktu tersebut terjadi 130 kasus. Dari jumlah tersebut baru 19 kasus yang diselesaikan penyidikannya. Di samping itu bidang lain yang tingkat kejahatannya mengkuatirkan adalah di bidang kepabeanan, (Bawazier,2006:1) dan penyalahgunaan BILBI. (Alif, 2007,48) Belum lagi kerugian yang terjadi di bidang lingkungan hidup dan perlinndungan konsumen.
Fenomena yang sama juga terjadi secara internasional. Rekayasa laporan keuangan (accounting fraud) oleh perusahaan Enron Corp dam World Com Inc. misalnya telah merugikan masyarakat secara luas di Amerika Serikat. Hal yang sama juga terjadi di negara lain seperti belanda yang dilakukan oleh Royal Ahold NV. Kasus terakhir yang sangat fenomenal dalam kejahatan ekonomi adalah terungkapnya penipuan di bidang investasi yang dilakukan oleh Benard Madoff, mantan CEO Nasdak, sebuah perusahaan sekuritas terbesar di Amerika serikat, yang merugikan milyaran dollar investor di berbagai negara.
Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah ditetapkan, namun diasumsikan dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan pertama adalah kebijakan perundang-undangan dalam mengatur tindak pidana di bidang ekonomi. Lahirnya hukum pidana ekonomi diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat yakni NU No.7/PNPS/1955 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi. Undang-Undang ini lahir untur mengatasi masalah ekonomi setelah penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Unang-undang ini pada dasarnya hanya merupakan saduran dari Undang-Unang Pidana Ekonomi di Belanda yakni Wet op de Economische Delicten. Di Belanda undang-undang ini dibuat untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi setelah perang dunia ke-2
Undang-undang ini sebenarnya menjadi wadah hukum pidana di bidang ekonomi dengan mengakomodasi perkembangan yang terjadi. Di Belanda, semua tindak pidana di bidang ekonomi diakomodasikan ke dalam Wet op de Economische Delicten. (Farid dan Hamzah, 2006:1) Namun di Indonesia hal itu tidak ditempuh, karena tindak pidana ekonomi yang lehir berikutnya dimuat dalam berbagai undang-undang, sehingga pengaturan tersebar dan tidak tertata dengan cermat. Akibatnya berbagai kebijakan hukum pidana yang diambil tidak kosisten.
Permasalahan berikutnya berkaitan dengan kebijakan dalam peraturan di bidang pidana ekonomi dalam kaitannya dengan fungsi hukum pidana. Secara umum hukum pidana dalam sistem hukum mempunyai fungsi sekunder artinya hukum pidana merupakan upaya hukum terakhir dalam penanggulangan terhadap berbagai permasalahan dalam masyarakat, termasuk dalam kejahatan di bidang ekonomi. Dengan fungsi ini berarti bahwa sepanjang ada upaya lain atau mekanisme lain baik melalui mekanisme keperdataan, mekanisme administratif atau mekanisme lainnya, maka hukum pidana tidak perlu campur tangan. Fungsi ini disebut juga dengan Ultimum Remedium. (Soedarto, 1977: 30)
Namun dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, khususnya yang memuat aturan kepidanaan, tidak begitu jelas dan konsisten apakah fungsi subsider dari hukum pidana ini menjadi kebijakan yang utama dalam pembentukan dan penegakan hukum pidana di bidang ekonomi. Hal ini dalam penegakan hukum juga menimbulkan konsekwensi yakni tidak begitu jelasnya apakah penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata dalam pelanggaran hukum di bidang ekonomi akan menghapuskan hukum pidana.
Sehubungan dengan permasalahan ini dalam penegakan hukum sering terjadi kontroversi bilaman aparat hukum terkait menggunakan pendekatan hukum pidana dalam fungsi primer akan menimbulkan kritikan dari sebagaian anggota masyarakat. Sedangkan di pihak lain khususnya pelaku ekonomi menghendaki penyelesaian keperdataan atau administratif lebih baik. (Romli,2003: XLV)
Oleh sebab itu, DPR sebagai lembaga yang diberi wewenang membentuk peraturan perundang-undangan harus dengan tegas menentukan kebijakan yang ditempuh berkaitan dengan fungsi hukum pidana.
Permasalahan berikutnya berkaitan dengan konsistensi hukum pidanadi bidang ekonomi dalam pengaturan mengenai sanksi pidana. Berbagai undang-undang pidana ekonomi tidak konsisten dalam penetapan sistem pemidanaan , terutama dalam penerapan stelsel kumulasi dan alternatif dalam pidana pokok. Begitu juga dalam penetapan saksi minimal khusus dalam berbagai tindak pidana di bidang ekonomi. Akibatnya, penerapan sanksi pidana oleh hakim tidak kurang memenuhi aspek keadilan, karena hakim diberikan ruang kebeasan yang sangat luas dalam penerapan sanksi pidana.
Aturan penegakan hukum khususnya dalam penyidikan yang terdapat dalam berbagai ketentuan hukum pidana ekonomi juga tidak konsisten. Di satu pihak terdapat undang-undang yang penyidiknya adalah penyidik khusus. Di pihak lain terdapat undang-undang pindana ekonomi yang penyididiknya penyidik umum yakni kepolisian dan penyidik khusus yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang penyidikan. Hal ini di satu pihak dapat mengakibatkan rivalitas dalam pelaksanaan tugas dan dipihak lain dapat mengakibatkan tumpang tindihnya penyidikan aterhadap suatu tindak pidana di bidang ekonomi.
Dalam koordinasi antara penegak hukum khususnya antara penyidik dan penuntut umum juga terlihat inkonsistensi. Di sebagian peraturan perundang-undangan terdapat aturan yang menentukan bahwan pelaksaan koordinasi penyidikan dan penuntutan dilakukan antara penyidik Polri dan jaksa, hal ini mengakibatkan penyidik khusus (penyidik PNS) berada di bawah koordinasi penyidik Polri. Sementara di pihak lain terdapat undang-undang yang menetapkan bahwa penyidik PNS bisa langsung melakukan koordinasi dengan kejaksaan, tanpa melalui penyidik Polri. Hal ini dapat mengakibatkan tidak terkoordinasinya fungsi penyidikan dengan baik, karena sebagian penyidik PNS tidak diberi wewenang untuk melakukan upaya paksa. Gambaran di atas menunjukkan bahwa tidak jelasnya kebijakan hukum pidana dalam upaya untuk menanggulangi tindak pidana di bidang ekonomi.
Kebijakan hukum Pidana (penal policy) merupkan suatu upaya untuk mewujudkan peraturan hukum pidana dirumuskan lebih baik untuk memberi pedoman tidak hanya bagi masyarakat/warga negara melainkan juga penegak hukum untuk menerapkan aturan hukum pidana. (Hamdan, 1997:19) Menurut Sudarto, Politik hukum pidana mencakup:
a. Kebijakan negara melalui badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mencapai apa yang dicita-citakan.
b. Usaha untuk mewujudkan peraturan yang baik sesaui dengan keadaan dan sistuasi pada waktu tertentu. (Soedarto,1986:151
Selanjutnya A Mulder menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk menentukan. (Hamdan,1997:20)
a. Sejauh mana ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu diubah dan
diperbarui.
b. Apa yang diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan upaya untuk memilih norma (law choosing) hukum/substansi hukum pidana, menetapkan (law-making) dan melaksanakan norma (law enforcing) hukum pidana. Semua upaya tersebut tentu saja dilaksakan oleh aparat dan institusi yang berwenang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam suatu negara tentu saja harus sesuai dengan dasar filosifi, sosial dan yuridis suatu masyarakat. Khusus dalam hukum pidana ekonomi kebijakan hukum pidana ekonomi tentu harus mendukung upaya-upaya pembangunan ekonomi negara.
Walaupun kebijakan hukum pidana sangat memegang penting dalam mendukung upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi negara, namun upaya pendekatan lain (non-penal policy) harus tetap dilakukan. Dengan demikian Masalah utamanya adalah bagaimana mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan atau kebijakan non-penal dan penal kearah penegakkan dan pengurangan faktor-faktor yang potensial tumbuh suburkan kejahatan.(Muladi dan Arief,1992:161)
Agar suatu kebijakan yang ditempuh benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi suatu masyarakat, maka semua upaya itu harus dimulai melalui pemilihan norma hukum dan penetapan norma hukum oleh lembaga negara khusunya lembaga legislatif. Oleh sebab, itu harus memperhatikan landasan filsafat, sosial dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Dalam pembentukannya, selanjutnya suatu peraturan perundang-undangan harus memuat asas-asass seperti demokratis, partisipatif, sustainability. Kesemuanya itu sangat menentukan dalam efektivitas dari segi pencapaian tujuan (doeltreffendheid), keterlaksanaan (uitvoerbaarheid) dan ketertegakkan (handhaafbaarheid) dari semua aturan tersebut. (Yuliandri, 2007:62)
Upaya penanggulangan tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang ekonomi tentu saja sangat membutuhkan suatu kebijakan yang tepat mengingat tindak pidana ekonomi mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan kejahatan konvensional. Tindak Pidana ekonomi sebagai sebuah tidak pidana sangat erat kaitannya dengan motif dan kebijakan ekonomi. Bagitu pula akibat yang ditimbulkannya jauh lebih luas dampatnya di banding kejahatan konvensional. Kalau tindak pidana pencurain, misalnya kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat terbatas sekali. Sedangkan kejahatan ekonomi mempunyai dampak yang sangat luas bagi masyarakat.
Tindak pidana ekonomi sebagai suatu bentuk tindak pidana yang melanggar berbagai aturan di bidang ekonomi jelas mempunyai kerakter sendiri. A Mulder mengatakan bahwa hukum pidana ekonmi mempunyai kekhususan yakni:
a. Sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan atau pasar;
b. Bersifat elastis dan tidak ditepatkan di bawah Stricta interpretatio;
c. Sanksi dapat diperhitung oleh mereka yang bersangkutan (Hamzah,1986: 23)
Walaupun tindak pidsna ekonomi seperti yang dikemukakan di atas, bersifat elastis dan tergantung pasar dan adanya kemungkinanan para pihak yang bersangkutan menetukan sanskinya, namun dari aspek makro, tindak pidana di bidang ekonomi berdampak sangat luas yakni dapat merusak bahkan menghancurkan stabilitas dan pembangunan ekonomi itu sendiri .
Berbagai bentuk tindak pidana ekonnomi yang terjadi menunjukkan bahwa dampak dari tindak pidana tersebut sungguh memberikan jangkauan yang sangat luas. Berbagai kasus perbankan baik yang terjadi di Indonesia, dan di luar negeri menimbulkan hilangnya kepercayaan kepada perbankan, padahal bank merupkan salah saktu sektor penting dalam perekonomian. Begitu pula halnya dengan tindak pidana lain yang sangat terkait dengan aktivitas ekonmi seperti di bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan dan lainnya juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Oleh sebab itu upaya pengkajian dan guna pengambilan kebijakan yang tetap sangat penting dalam menunjang pembangunan itu sendiri. (Wibowo, 2007:47)
Pengaturan tindak Pidana ekonomi dalam sistem hukum pidana Indonesia merupakan salah satu bentuk dari hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht). Pada awalnya persoalan ekonomi hanya merupakan persoalan administratif dan keperdataan. Namun mengingat pemerintah membutuhkan adanya suatu upaya pelaksanaan untuk pemberlakuan hukum ekonomi, maka diperkuat dengan sanksi pidana sehingga melahirkan aturan hukum pidana ekonomi.
Walaupun demikian penggunaan hukum pidana sebagai sarana utama harus dipertimbangkan. Pengendalian ekonomi yang semata-mata menggunakan hukum pidana dapat mengakibat overcriminnalization dan sekaligus dapat menimbulkan dampak negatif juga bagi perekonomian. (Soedarto,1986:23) Adanya sanksi pidana dalam berbagai undang-undang di bidang ekonomi mestinya hanya berfungsi sebagai pengawal agar aturan yang ada ditaati. (Hamzah, 2007: 25)
Walaupun secara hukum fungsi hukum pidana sebagi ultimu remidium (upaya terakhir) namun ada kecendrungan untuk menggunakan pidana sebagai upaya yang pertama (premium remedium). Dalam hal tertentu memang dimungkinkan, seperti yang dikemukakan oleh H.G. de Bunt yakni dengan alasan: korban yang sangat besar, terdakwa residivis dan kerugian tidak dapat dipulihkan(irreperable)(Romli,2003,:79) Secara umum pandangan tersebut dapat dibenarkan, namun dalam bidang perekonomian hal itu perlu dipertimbangkan secara khusus.
Di samping itu, penggunaan sarana penal atau sanksi pidana yang merupakan ciri dominan dalam sistem hukum pidana konvesional dirasakan kurang tepat. Sanksi pidana sebagai upaya pencegahan (prevensi) dan penjeraan (detterance) tidak sepenuhnya didukung oleh suatu fakta empiris. Malahan terdapat kajian empiris yang membuktikan sebaliknya:
“An altrnative hypothesis holds that variation in the certainty and sevirity of punishment do not significantly deter the criminal. Rather crime is a result of a complex set of socioeconomic factors or possibility biological factor. The appropriate way ti minimize the social cost of the crime is to attct the root causes of crime, and programs designed to alleviate sociual, economi, and biological causes of crime.” (Cooter and Ulen,2004;484)

Keseluruhan upaya penanggulangan kejahatan termasuk tindak pidana ekonomi yang melalui jalur represif atau penegakan hukum pada dasarnya berada dalam satu sistem atau satu kesatuan yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Di samping melalui jalur repressif, penanggulangan kejahatan juga dapat dilakukan melalui jalur preventif yang merupakan setiap usaha untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan. (Hamzah, 1998:2)
Dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat, upaya represif merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari, karena bagaimanapun akan selalu terjadi suatu tindak pidana yang melahirkan konsekuensi harus dilakukan upaya penegakkan hukum (law enforcement). Penegakkan hukum pidana membutuhkan aturan prosedural yang mempunyai cakupan yang luas dan berada dalam suatu kerangka Sistem Peradilan Pidana.
Sebagai suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang terdiri dari sub-sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yakni untuk melakukan penegakan hukum pidana (Criminal Law Enforcement). Walaupun masing-masing sub-sistem merupakan suatu institusi yang mandiri dan mempunyai tugas dan kewenangan sendiri, semua sub-sistem itu dihubungkan oleh suatu mata rantai yang menyatukan gerak langkah operasional masing-masingnya. Dari kesemua mata rantai tersebut akhirnya akan bermuara pada penegakan hukum secara konkrit dalam suatu kasus tertentu. Conklin menggambarkan: “The Criminal justice system has been descired as a funnel or sieve that sorts out cases”. (Conklin, 1994:391)
Upaya pencegahan tindak pidana di bidang ekonomi membutuhkan integrasi dari berbagai sub-sistem peradilan pidana terdiri dari berbagai sub-sistem yang idealnya harus merupakan satu kesatuan (integrated). (Reksodiputro, 1994: 85) Dengan demikian, persoalan penegakkan hukum seperti penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan hukuman harus berada dalam suatu sinkronisasi dan koordinasi yang baik. Kalau tidak, sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Selanjutnya upaya penegakkan hukum tidak akan berjalan secara maksimal. (Allen , 2001:4)

III. METODE PENELITIAN

Untuk meneliti permasalahan dalam penelitian ini digunakan pendekatan penelitian hukum normatif (legal research) dan pendekatan penelitian hukum sosiologis (socio-legal research). Pendekatan hukum normatif ini terutama ditujukan untuk melakukan inventarisais hukum, kajian sinkronisasi dan koordinasi, serta pencarian asas-asas hukum dalam hukum pidana di bidang ekonomi.(Rahardjo, 1984; 66)
Dalam penelitian yang bersifat yuridis normatif data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yakni berbagai bahan hukum yang berkaitan dengan kebijakan pidana dari berbagai aturan dalam tindak pidana di bidang ekonomi. Bahan-bahan hukum yang dimaksud baik yang bersifat primer yakni peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang.
Penelitian untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan dengan studi dokumentasi, khususnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan internal yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam berbagai aturan terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi.
Analisis data digunakan dengan metode kualitatif dan (content analysis) terhadap peraturan perundang-undangan yang dikumpulkan. Langkah pertama adalah dengan melakukan inventarisi peraturan yang berkaitan dengan bidang perekonomian.



IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Inventarisasi undang-undang terkait dengan Tindak Pidana di Bidang Ekonomi
Kebijakan hukum pidana tertuang dalam kebijakan legislasi dan pebijakan bidang penegakan hukum suatu aturan di dalam negara. Tindak pidana di bidang ekonomi sebagai suatu bentuk hukum yang berkembang dan dinamis terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan pembatasan konsep, maka yang dimaksud di sini adalah peraturan yang terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi yang terdapat di luar kodifikasi atau KUHP.
Untuk membahas kebijakan hukum pidana tentu harus dibahas terlebih dahulu kebijakan legislasi atau pengaturan dalam perundang-undangan terkait dengan tindak pidana ekonomi. Selanjutnya untuk melakukan pengkajian kebijakan tersebut dapat dilihat kebijakan hukum pidana. Untuk melakukan anaslisis tentang kebijakan hukum pidana terlebih dahulu dengan melakukan inaventarisasi aturan hukum pidana dalam hal ini undang-undang terkait dengan tindak pidana ekonomi.
Dari hasil inventarisasi yang dilakukan dapat dihimpun aturan-aturan terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi seperti di bawah ini:

1. Undang-undang No. 7/drt/Tahun 1955 tentang Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi
2. Undang-Undang No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
3. Undang-Undang No. 6 tahun 1983 jo Undang-Undang no. 16 Tahun 2000 jo Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan
4. Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
5. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
6. Undang-Undang No. 10 tahun 1995 jo Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
7. Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup
8. Undang-undang No.5 Tahun 1999 Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
9. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
10. Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo Undang-Undang No.3 Tahun 2004
11. Undang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang lalu Lintas Devisa
12. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
13. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten
14. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Hak Merek
15. Undang-Undang No 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.25 tahun 2003 tentang Pencucian Uang.
16. Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan
17. Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Yindak Pidana Perdagangan Orang
18. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Informasi Elektronik
Kesemua undang-undang itu dapat dibagi ke dalam beberapa bidang dalam perekonomian. Dalam hal ini klasifikasi yang dilakukan mencakup:

B. Pembasasan
Dari analisis yuridis yang dilakukan terhadap berapa undang-undang yang mengatur tindak pidana di biang ekonomi seperti yang dikemukakan di atas, telah dilakukan pembahasan terhadap kebijakan hukum pidana yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Kebijkan hukum pidana itu terlihat dalam pengaturan baik hukum pidana materil ataupun hukum pidan formil.
Kebijakan yang termuat dalam hukum pidana materil mengatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan:
a. ruang lingkup pengaturan
b. perumusan delik
c. Unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana
d. perumusan pidana dan pemidanaan
e. hubungan sanksi administratif dan sanksi pidana
Kebijakan yang termasuk ke dalam hukum pidana formil adalah:
a. Pengaturan tentang penyidik, penyidikan dan wewenang penyidikan
b. Pengaturan tentang penuntut umum, penuntutan dan kewenangan penuntutan
c. Koordinasi antara penyidik dengan penyidik dan penyidik dengan penuntut umum;
d. Pengaturan tentang peradilan atau pemeriksaan di persidangan
Dalam pembahasan ini akan dilihat kecendungan kebijakan hukum pidan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
1. Ruang lingkup pengaturan
Dari penelitian yang dilakukan dapat diungkapkan bahwa bahwa semua undang-undang yang ada dalam bidang-bidang ekonmi yang disebutkan itu (11 bidang) memuat aturan tentang hukum pidana materil sedangkan untuk hukum pidana formil hanya 9 peraturan yang memuatnya, yakni Undang-Undang Anti monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat dan Undang-Undang tentang Pencucian uang. Artinya tidak semua kebijakan hukum pidana dalam menetapkan hukum pidana formil termuat dalam undang-undang terkait dengan tindak pidana ekonomi. Walaupun demikian sebenarnya undang-undang tersebut tetap memuat tentang hukum acara pidana. Misalnya dalam undang-undang Anti Monopoli diatur kapan pelanggran undnag-undang itu bisa diserahkan kepada penyidik.
2. Perumusan delik
Dari analisis yang dilakaukan ternyata model perumusan delik tidak konsisten. Terdapat 3 bidang yang nggunakan perumusan delik dengan mengacu kepda rumusan perbuatan yang sudang dilarang sebelumnya. Terdapat 4 bidang yang perumusan deliknya dengan menciptakan delik sendiri dalam perbuatan yang dilarang. Sedangkan 4 bidang lainnya menggunakan model penggabungan perumusan delik dengan yang mengacu kepada rumusan yang sebelumnya dan menciptakan sendiri rumusan delik baru. Namun dalam sebagian undng-undang tersebut ada yang menggabungkan antara mengacu kepada perbuatan yang dilarang sebelumnya dengan menciptakan delik yang baru.
3. Unsur Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (unsur kesalahan)
Tidak semua aturan pidana khusus di bidang ekonomi yang memuat dengan jelas unsur kesalahan baik itu kesengajaan atau kealpaan yakni sebanyak 6 aturan pidana khusus. Sebanyak 7 aturan pidana khusus memuat aturan tentang sengaja dan yang lainnya menyebut unsul kealpaan.Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi misanya menyebutkan delik dengan unsur kesengajaan dan kelalaian. Namun dalam sebagian perumusannya tidak disebutkan unsur kesengajaan. Demikian juga Undang-Undang Perpajakan menyebutkan unsur kesengajaan atau kealpaan dalam rumusan deliknya. Sebaliknya dalam Undang-Undang Anti Monopoli tidak disebutkan unsur kesengajaan atau kelalaian dalam rumusan deliknya. Secara praktis tentu ini akan berdampak pada pembuktian unsur tindak pidana di sidang pengadilan.
4. Pertanggungjawab Korporasi
Pertanggungjawaban korporasi merupakan sebuah mekanisme untuk memperluas pertanggunjawaban pidana tidak hanya terhadap orang (natuurlij persoon), melainkan juga kepada badan hukum. Mengingat aktivitas ekonomi banyak dilakukan oleh korporasi, dan kadang kala sulit minjadi pelaku materilnya, maka pertannggung jawaban diperluas samapai ke badan hukum. Namun dalam kebijakan hukum pidana yang terdapapt di bidang perbankan hanya 7 undang-undang yang memuat aturan tentang pertanggungjawaban korporasi dan 4 lainnya tidak mengatur. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi dan Unang-Undang Lingkungan Hidup menyebutkan dengan tegas tindak pidana/pertanggungjawaban korporasi. Sebaliknya dalam tindak pidana perbankan dan perpajakan tidak diatur tentang pertanggungjawaban korporasi. Hal ini tentu akan menimbulkan pertanyaan, karena dalam kedua tindak pidana itu ada kemungkinan keterlibatan sebuah korporasi.
5. Pembedaan Kejahatan dan Pelanggaran
Klasifikasi tindak pidana atas kejahatan dan pelanggar sangat menentukan pengaturan lembaga hukum lain dalam hukum pidana seperti perbuatan percobaan dan melakan. Namun dalam tindak pidana ekonomi tidak semua undang-undang khusus tersebut mengatur dengan tegas perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan dan pelanggaran. Hanya terdapat enam aturan yang mengatur tentang adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran. Undang-Undangan Lingkungan Hidup dan Pencucian uang mengatur pembedaan antara delik kejahatan dan pelanggaran. Sedangkan dalam undang-undang Hak kekayaan Intelektual dan Undang-Undang Perpajakan tidak diatur apakah suatu delik adalah kejahatan atau pelanggaran.
6. Pengaturan Percobaan dan membantu melakukan
Berhubungan dengan pengaturan lembaga hukum percobaan dan membantu melakukan, hanya terdapat lima peraturan yang mengatur mengenai percobaan 6 lainya tidak mengatur. Terdapat hanya dua peraturan yang mengatur lembaga membantu meakukan sedangkan 9 lainnya tidak mengatur. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi misalnya diatur baik mengenai percobaan an membantu melakukan. Sedangkan dalam tindak pidana Perbankan tidak diatur sama sekali tentang percobaan dan membantu melakukan. Sedangkan dalam Tindak Perikanana hanya diatur tentang percobaan, tetapi tidak mengatur mengenai membantu melakukan.
7. Perumusan sanksi Pidana/jenis pidana
Sanksi pidana merupakan suatu dasar pembentukan hukum pidna khusus khususnya di bidang ekonomi karena kebijakan pidanan dan pemidanaan yang ada tidak sejalan lagi dengan kebutuhan dan perkembangan. Oleh sebab itu aturan pidana dan pemidanaan dibuat menyimpang dari aturan khusus dengan menggunakan asas kumulasi. Ternyata pengaturannya sangat beragam. Terdapat 7 perturan yang menggunakan kumulasi stelse atau penggabunagn dua pidana pokok. Tiga peraturan laiinya menganut kumulasi tidak murni atau terserah kepa hakim untuk menggunakan alternatif atau kumulatif. Terdapat dua peraturan yanga masih menggunakan sistem alternatif. Tindak Pidana Ekonomi misalnya masih mengngunakan sistem alternantif, sedangkan tindak pidana perpajakan dan pasar modal menggunakan sistem kumulasi. Sebaliknya Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual) HaKI menggunakan kumulasi tidak murni (alternatif-kumulatif).
8. Sanksi Pidana (Strafmaat)
Dihubungkan dengan lamanya atau besarnya pidana, undang-undang pidana khususnya sebenarnya menghendaki agas sanksinya lebih berat dengan sedikit membatasi kebebasan hakim dalam menentukan lamanya pidana. Hal itu dilakukan dengan menerapkan stelsel minimum khusus. Ternyata dari penelitian terlihat bahwa tidak satupun aturan yang menerapkan minimum khusus yang murni. Hanya terdapat lima aturan yang menggunakan minimum dan maksimum khusus artinya pilihan hakim masih antara minimim dan masksimul lamanya/besarnya pidana yang dapat dijatuhkan. Sedangkan enam aturan masih menggunakan maksimum khusus, artinya terdapat luasnya kebebasan hamin menjatuhkan lama/besarnya pidana. Undang-Undang Perbankan dan perpajakan masih mennggunakan. Tidak ada satu aturanpun yang menerapkan minimum khusus. Undang-Undang Pasar Modal dan Perpajakan masih menggunakan stelsel maksimal khusus. Undang-Undang Perbankan dan HaKI menggunakan minimal khusus dan maksimal khusus.
9. Hubungan sanksi Administratif dan Pidana
Berkaitan dengan pengaturan sanksi administratif dan pidana, ternyata tidak semua undang-undang yang memuat hubungan antara sanksi administratif dengan sanksi pidana. Memanga terdapat delapan aturan yang mengatur sanksi pidana dan terdapat tiga aturan yang tidak memuat dengan tegas. Namun dari undang-undang yang dibahas hanya terdapat satu aturan yang tegas menyatakan bahwa pengenaan sanksi administratif tidak mengahapuskan pertanggungjawaban pidana. Hanya undang-undang perbankan yang dengan jelas menyebutkan bahwa penjatuhan sanksi administratif tidak menghilangkan pertanggungjawaban pelakunya. Terdapat undang-undang yang mengatur hukum administrasi berkaitan dengan sanski pidana, namun tidak disebutkan ahubungan antara kedua sanksi tersebut, misalnya dalam undang-undang Anti Monopoli dan Undang-Undang Perpajakan.
10. Penyidikan
Salah satu kekhasan dalam hukum pidana khusua adalah aturan tentang penyidik dan penyidikan yang bersifat khusus pula. Dari penelitian ternyata diketahui bahwa masih terdapat tiga undang-undang yang menetapkan tidak adanya penyidik khusus, misalnya Undang-Undang Perbankan dan Pencucian Uang. Dengan demikian penyidiknya adalah penyidik umum. Terdapat tiga peraturan yang menyatakan bahwa penyidiknya hanya penyidik khusus jadi tidak dibolehkan dilakukan oleh penyidik umum, misalnya dalam tindak pidana kepabeanan dan Pasar Modal. Namun terdapat juga 5 peraturan yang menetapkan penyidik lebih dari satu, seperti undang-udang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Perikanan.
11. Koordinasi Penegak hukum
Koordinasi penegakan hukum khususnya di bidang penyidikan terlihat bahwa terdapat 4 peraturan yang harus ada koordinasi anatar penyidik khusus dengan penyidik Polri, misalnya dalam undang-undang Kehutanan dan HaKI. Terdapat 5 aturan yang hanya mengatur koordinasi antara penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan penuntut umum, seperti undnag-undang perpajakan dan kepabeanan. Terdapat 7 peraturan yang menetapkan bahwa koordinasi dengan penunut umum harus melalui penyidik Polri, seperti undang-undang perbankan dan Pencucian Uang.
12. Pengaturan Penuntutan

Berkaitan dengan jaksa//penuntut umum, sebagian besar undang-udang (9 undang-undang) menetapkan bahwa penuntut umum tetap berdasarkan aturan pidana umum. Namun 2 undang-undang menetapkan adanya jaksa khusus, walaupun secara kelembagaan tetap dalam lembaga kejaksaan. Hal itu ditemukan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Perikanan.
13. Pengadilan khusus

Berkaitan lembaga peradilan, terdpat 9 peraturan yang menentukan bahwa peradilan yang menyidangkan perkara pidana tetap melalui peradilan umum. Sedangkan 2 undang-undang amenetapkan abahwa terapat peradilan akahusus yang menang. Yang mengatur tentang adanya peradilan khusus hanya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Perikanan.
14. Aturan Persidangan
Walaupun sebagian besar pengadilan dalam tindak pidana ekonomi tetapa diadili peradilan umum, namun ternyata juga terdapat beberapa pengaturan yang memuat aturan tentang hukum acara, seperti aturan tentang peradilan in absentai, aturan tentang, aturan tentang hakim putusan dan sebagainya. Undang-Undang yang mengatur cukup banyak aturan persidangan adalah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Piadana Ekonomi dan Undang-Undang Perikanan.Sedangkan dalam Undang-Undang tentang Pencucian Uang dan dalam Undang-Undang Antimonopoli juga terdapat aturan pemeriksaan di pengadilan, walaupun tidak diatur adanya peradilan khusus.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari uraian tentang kondisi pengaturan tentang kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi sebelumnya dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut berikut:
1. Kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh lembaga legislatif tidak memperlihatkan adanya konsistensi, sinkronisasi dan harmonisasi anatara berbagai aturan yang ada baik berkaitan asas-asas hukum pidana materil ataupun hukum pidana formil.
2. Fungsi hukum pidana dalam berbagai aturan hukum pidana di bidang ekonomi tidak memperlihatkan adanya konsistensi. Di sebagian peraturan perundang-undangan Hukum pidana dijadikan hukum dalam fungsi yang primer dan di sebagian lagi menggunakan fungsi hukum sekunder artinya lebih mengutamakan pendekatan hukum lain seperti hukum perdata dan administratif.
3. Kebijakan sistem pemidanaan juga tidak memperlihatkan adanya konsistensi dan keseragaman. Di sebagian peraturan perundang-undangan di gunakan sistem alternatif, disebagian lagi menggunakan sistem kumulasi dan di sebagian lagi menggunakan sistem kumulasi tidak murni.
4. Berbagai aturan yang ada dalam tindak pidana ekonomi tidak memperlihatkan adanya sinkronisasi dalam berbagai konsep hukum seperti perumusan delik, penetapan unsur delik, pertanggungjawaban pidana, penetapan sistem pidana dan pemidanaan dan, aturan acara dan peradilan pidana.
5. Kordinasi berbagai aparat hukum terkait dalam bebagai aturan hukum pidana di bidang ekonomi tidak memperlihatkan konsistensi. Di sebagian undang-undang ada koordisansi antara penyidik PNS dengan penyidik Polri, di sebagian lain tidak mengharuskan adanya koordinasi. Di sebagian undang-undang terdapat penyidik khusus dan di sebagian lain terdapat beberapa instansi yangt berwenang melakukan penyidikan
B. Saran
1. Penyusunan berbagai aturan hukum pidana di bidang ekonomi oleh lembaga legislatif hendaknya memperhatikan prinsip sinkronisasi dan harmonisasi antar berbagai aturan hukum yang ada, sehinga pengekan hukum akan lebih mudah dan pasti.
2. Undang-undang hukum pidana di bidang ekonomi seharusnya tetap menempatkan hukum pidana dalam fungsi sekundernya. Artinya penegakan hukum harus lebih memprioritaskan penegakan hukum melalui mekanisme hukum administrasi dan keperdataan.
3. Kebijakan sistem pidana dan pemidanaan seharusnya lebih konsisten dengan mengunakan sistem alternatif murni serta menggunakan stelsel minumum khusus sehinga akan mengurangi keleluasaan hakim dan lebih menjamin pengembalian kerugian negara atau masyarakat.
4. Berabagai aturan hukum pidana hendaknya lebih memperhatikan sinkronisasi dalam penggunaan konsep hukum seperti dalam penyidikan, penuntutan, peradilan, unsur dan pertangungajawaban pidana sehing aturan hukum yang ada lebih sistematis dan terpadu.
5. Koordinasi antara berbagai penegak hukum terkait dalam tindak pidana di bidang ekonomi hendaknya mengacu kepada ketentuan hukum pidana umum yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan mengacu kepada Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) sehingga akan lebih memudahkan kepada bekerjanya sub sistem peradilan pidana dan penegakan hukum pidana.








DAFTAR PUSTAKA
Adhi Wibowo, Analisis kejahatan Perbakan Perspektif hukum Pidana, dalam Jurnal Hukum Respublika, Vol,7, No.Univ. Lancang kuning, Pekanbaru, 2007
Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi. Erlangga, Jakarta, 1991
___________, Pemberantasa Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional Rajagrafindo, Jakarta, 2007
A.Z. Abidin farid, dan Andi hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, Rajawali, Jakarta, 2006
Allen, Ronald Jay, et al. (2001) Comprehensive Criminal Procedure, New York, Aspen Law & Business
Conklin, John E., (1994) Criminology, Fouth Edition, New York, Macmillian Publishing Company
Fuad Bawazier, Tindak Pidana Kepabeanan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vo.3 No.4, Desember 2006, Depekeh, Jakarta, 2006
Fitzgerald, Jack D dan Cox Steven M., Research Methode in Criminal Justice System, An Introduction, (1992), Chicago, Nelson-Hall
Hamzah, A., Reformasi Penegakan Hukum, (1998), Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
Komariah Emong Sapardjaja,2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung, Penerbit Alumni,
Mardjono Reksodiputro (1994). Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia
__________, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Universitas Indonesia. 1994
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Rajawali, jakarta, 1997
Muladi dan Arief, Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (1992) Bandung, Alumni
PAF.Lamintang dan Djisman Samosir, 1995. Delik-delik Khusus: Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak Yang Timbul dari Hak Milik. Bandung: Tarsito.
Purbacaraka, Purnadi., Halim A.Ridwan, Filsafat Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers
Rahardjo, Satjipto. (1984) Masalah Penegakan Hukum, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Rizal Alif, Penyalhgunaan Dana BLBI sebagai Kejahatan Kerah Putuih di Indonesia, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.2 tahun 2008,
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana, Jakarta, 2003
Robertt Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, Pearson Boston, 2004
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986
_________, Hukum Pidana dan Perkembangan Msyarakat, Sinar Baru, bandung, 1983
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik dalam rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan, Ringkasan Disertasi, Airlangga, Surabaya, 2007
Zulkarnain Sitompul. Problematika Perbankan, BooksTerrance&Library. Bandung. 2005. Hal 244