Selasa, 08 Juni 2010

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG EKONOMI DI INDONESIA

Artikel Penelitian

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG EKONOMI DI INDONESIA
Oleh:
Yoserwan, SH.MH.LLM.


Abstract
Untuk menanggulangi tindak pidana yang terjadi di bidang ekonomi, negara sudah membuat berbagai undang-undang yang terkait dengan tindak pidana ekonomi. Keberhasilan suatu peraturan mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh kebijakan hukum pidana yang terkandung di dalamnya. Ternyata bahwa kebijakan hukum pidana dalam berbagai undang-undang terkait dengan tindak pidana ekonmi, tidak konsisten, tidak sinkron dan tidak harmonis satu sama lain. Hal itu terlihat baik dalam perumusan delik, unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana, kebijakan dalam pidana dan pemidanaan, kebijakan dalam aturan penyidikan serta koordinasi antara aparat penegak hukum terkait. Untuk mendukung keberhasilan penegakan hukum pidana di bidang ekonomi, perlu ditetapkan kebijakan hukum pidana yang memperhatikan konsistensi, sinkronisasi dan harmonisasi, berbagai peraturan terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi.

Kata Kunci: Kebijakan hukum pidana, tindak pidana di bidang ekonmi, sinkronisasi


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pembangunan di bidang hukum merupakan salah satu bidang yang sangat menentukan bagi terlaksananya pembangunan bidang lainnya. Salah satu bidang yang berdampak luas adalah tindak pidana ekonomi karena berdampak luas bagi upaya pembangunan ekonomi oleh pemerintah. Misalnya, kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang perbakan. Selama tahun 2006 total kerugian akibat tindak pidana perbankan mencapai Rp.5,3 trilliun dan 52 juta dollar. Dalam kurun waktu tersebut terjadi 130 kasus. Dari jumlah tersebut baru 19 kasus yang diselesaikan penyidikannya.
Fenomena yang sama juga terjadi secara internasional. Rekayasa laporan keuangan (accounting fraud) oleh perusahaan Enron Corp dam World Com Inc. misalnya telah merugikan masyarakat secara luas di Amerika Serikat. Hal yang sama juga terjadi di negara lain seperti di Belanda, yang dilakukan oleh Royal Ahold NV. Kasus terakhir yang sangat fenomenal dalam kejahatan ekonomi adalah terungkapnya penipuan di bidang investasi yang dilakukan oleh Benard Madoff, mantan CEO Nasdak, sebuah perusahaan sekuritas terbesar di Amerika serikat, yang merugikan milyaran dollar investor di berbagai negara.
Berbagai persoalan dalam tindak pidana sebanarnya bukan merupakan persoalan baru, karena aktivitas perekonomian sangat sarat dengan berbagai terjadinya pelanggaran. Oleh sebab itu negara sebenarnya telah berupaya untuk melakukan tindakan atau kebijakan dalam upaya penanggulangannya, khususnya melalui sarana hukum pidana. Kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi itu sebenarnya sudah dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.7 /drt/ tahun 1955. Undang-undang ini dibuat untuk membantuk negara dalam mengatasi berbagai persoalan ekonomi pada saat itu
Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan berkembangnya aktivitas perekonomian, semakin berkembang pula bentuk dan modus operandi perbuatan yang merugikan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi. Oleh sebab itu, berbagai peraturan pidana di bidang ekonomi kemudian dikeluarkan lagi dalam berbagai sektor perekonomi. Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah dibuat, namun dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya.
Permasalahan tersebut pertama, terkait dengan fungsi hukum pidana ekonomi sebagai fungsi primer atau sekunder. Kedua, kebijakan dalam pidana dan pemidanaan, dan ketiga kebijakan dalam penyidikan dan koordinasi penyidikan. Keempat kebijakan dalam upaya pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut.

B. Rumusan Permasalahan
Dari uraian tentang kondisi tindak pidana di bidang ekonomi yang terjadi di Indonesia seperti dikemukakan sebelumnya dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam pengaturan tindak pidana di bidang ekonomi oleh lembaga legislatif?
2. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam hubungannya dengan fungsi hukum pidana dalam penangulangan tindak pidana di bidang ekonomi?
3. Bagaimana kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang terdapat berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pidana ekonomi?
4. Bagaimana sinkronisaisi aturan tugas dan wewenang aparat penegak hukum terkait dalam berbagai aturan pidana di bidang ekonomi?
5. Bagaimana koordinasi pelaksanaan tugas dan wewenang aparat penegak hukum terkait dalam penegakan hukum pidana di bidang ekonomi?

C. Tujuan dan Urgensi Penelitian

Dari permasalahan seperti dikemukakan sebelumnya, maka dirumuskan tujuan-tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini yakni:
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam pembentukan hukum pidana di bidang ekonomi oleh lembaga legislatif.
2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam penempatan fungsi hukum pidana dalam fungsi primer atau sekunder.
3. Untuk mengetahui kebijakan pidana dan pemidanaan dalam Hukum Pidana di Bidang Ekonomi.
4. Untuk mengetahui sinkronisasi berbagai aturan hukum pidana di bidang ekonomi.
5. Untuk mengetahui koordinasi antara penegak hukum terkait dalam pemberantasan tindak pidana di bidang ekonomi.
Upaya penanggulangan suatu tindak pidana atau kejahatan membutuhkan adanya suatu kebijakan kriminal dan politik hukum pidana yang tepat. Tindak pidana di bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang mempunyai ciri tersendiri yakni menonjolnya aspek atau motif ekonomi sehingga juga membutuhkan kebijakan yang sesuai dengan aspek ekonomi itu sendiri.
Kebijakan pidana di bidang ekonomi dimulai dengan pembentukan substansi atau aturan hukum pidana ekonomi. Oleh sebab, itu agar penanggulangan tindak pidana ekonomi dapat berjalan dengan baik perlu dimulai dengan pembentukan norma hukum pidana di bidang ekonomi yang memenuhi aspek fislosifis, sosiologis dan normatif.
Persoalan utama yang terdapat dalam kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi adalah tidak jelasnya fungsi hukum pidana apakah sebagai fungsi sekunder atau primer dalam penanggulangan tindak pidana ekonomi. Oleh sebab itu penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya kebijakan hukum pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan pidana ekonomi sehingga dengan itu nantinya bisa dirumuskan suatu kebijakan yang jelas dan konsisten.
Sistem sanksi merupakan bagian terpenting dari suatu substansi hukum pidana., yang merupakan wujud konkrik dari reaksi masyarakat terhadap suatu tindak pidana yang diterapkan oleh negara melalui aparatur penegak hukumnya. Sistem sanksi merupakan wujud keadilan antara pelaku tindak pidana dengan masyarakat. Di dalamnya terdapat berbagai upaya untuk memperbaiki masyarakat khususnya pelaku tindak pidana. Oleh sebab itu kebijakan dalam perumusan sanksi dalam tindak pidana ekonomi harus dilakukan dengan tepat. Semua itu membutuhkan adanya suatu kajian tentang perumusan sanksi dan penerapan sanksi dalam tindak pidana ekonomi, agar sanksi tersebut dapat mencapai tujuan pemidanaan.
Suatu norma hukum membutuhkan suatu sistem penegakan hukum baik melalui aturan hukum acara pidana ataupun melalui institusi atau aparatur penegak hukum. Penegakan hukum membutuhkan sinkronisasi dan koordinasi berbagai sub sistem terkait. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya kajian tentang sinkronisasi dan koordinasi antar berbagai sub sistem terkait dalam penaggulangan tindak pidana di bidang ekonomi sehingga hasilnya lebih optimal.
Masih sedikitnya kajian baik secara normatif ataupun sosiologis tentang tindak pidana ekonomi membutuhkan adanya suatu kajian yang mendalam dan komprehensif sehingga dapat memberikan masukan dalam perumusan dan pembentukan kebijakn hukum pidana dalam tindak pidana di bidang ekonomi. Sekaligus hasil kajian ini diharapkan dapat memberi referensi khususnya bagi penegak hukum dalam tindak pidana ekonomi atau memberikan referensi bagi kajian akademik.

II. HUKUM PIDANA DI BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
Pembangunan di bidang hukum merupakan salah satu bidang yang sangat menentukan bagi terlaksananya pembangunan bidang lainnya seperti bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Pembangunan di bidang hukum harus ditujukan kepada penegakan hukum atau rule of law dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia serta peningkatan harkat dan martabat manusia.
Salah satu bidang penegakan hukum adalah bidang penegakan hukum pidana untuk memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang sudah dilanggar oleh suatu tindak pidana, serta untuk menciptakan rasa ketertiban dan keamanan dalam masyarakat (Purbacaraka, 1982:1). Penegakan hukum pidana seperti juga penegakan hukum pada umumnya harus mencakup tiga komponen seperti yang dikemukakan oleh W Friedmann yakni substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga komponen itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Substansi hukum atau materi hukum merupakan cikal bakal dari negara hukum dan penegakan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, pembentukan substansi hukum sangat menentukan dalam pembentukan negara hukum dan pelaksanaan aturan hukum itu sendiri.
Pembentukan substansi hukum dimulai dari suatu kebijakan hukum atau politik hukum yang merupakan suatu proses pemilihan norma-norma hukum, penetapan norma hukum dan pelaksanaan atau penegakan norma hukum tersebut. Oleh sebab, itu kebijakan hukum memegang peranan penting dalam pembentukan substansi hukum apapaun, termasuk hukum pidana. Hukum pidana sebagai salah satu bidang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hidup dan kehidupan manusia juga membutuhkan adanya suatu kebijakan hukum agar tujuan hukum pidana tersebut bisa dicapai.
Salah satu bidang hukum pidana yang selalu berkembang adalah hukum pidana di bidang ekonomi, karena bidang hukum ini selalu mengikuti perkembang ekonomi. Aktivitas perekonomian berkembang dengan pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Mengingat norma hukum bersifat statis, sedangkan kehidupan masyarakat terutama kehidupan ekonomi sangat dinamis, maka norma hukum biasanya selalu terlambat. Akibatnya, aturan hukum pidana di bidang ekonomi akan ketinggalan dengan perkembangan ekonomi, termasuk kejahatan yang terjadi di bidang ekonomi. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya suatu aturan hukum yang adaptif terhadap perkembangan ekonomi.
Perkembangan aktivitas perekonomian telah pula melahirkan bentuk kejahatan yang merugikan dan membahayakan kehidupan. Kalau sebelumnya orang tidak mengenal cyber crime, sekarang orang sangat akrab dengan dengan istilah itu dan sudah banyak yang menjadi korban. Kalau dalam dekade delapan puluhan orang tidak begitu risau dengan kejahatan perbankan, pasar modal, lingkungan hidup, dan berbagai kejahatan di bidang perekonomian lainnya, sekarang kejahatan itu sudah sangat merisaukan, bahkan secara kuantitas ataupun kualitas jauh lebih tinggi dari pada kejahatan konvensional.(Conklin, 1989;29)
Berbagai gambaran tentang kejahatan di bidang ekonomi, sering tergambar dari berbagai laporan media masa ataupun laporan institusi pemerintah. Salah satunya adalah kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang perbakan. Selama tahun 2006 total kerugian akibat tindak pidana perbankan mencapai Rp.5,3 trilliun dan 52 juta dollar. Dalam kurun waktu tersebut terjadi 130 kasus. Dari jumlah tersebut baru 19 kasus yang diselesaikan penyidikannya. Di samping itu bidang lain yang tingkat kejahatannya mengkuatirkan adalah di bidang kepabeanan, (Bawazier,2006:1) dan penyalahgunaan BILBI. (Alif, 2007,48) Belum lagi kerugian yang terjadi di bidang lingkungan hidup dan perlinndungan konsumen.
Fenomena yang sama juga terjadi secara internasional. Rekayasa laporan keuangan (accounting fraud) oleh perusahaan Enron Corp dam World Com Inc. misalnya telah merugikan masyarakat secara luas di Amerika Serikat. Hal yang sama juga terjadi di negara lain seperti belanda yang dilakukan oleh Royal Ahold NV. Kasus terakhir yang sangat fenomenal dalam kejahatan ekonomi adalah terungkapnya penipuan di bidang investasi yang dilakukan oleh Benard Madoff, mantan CEO Nasdak, sebuah perusahaan sekuritas terbesar di Amerika serikat, yang merugikan milyaran dollar investor di berbagai negara.
Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah ditetapkan, namun diasumsikan dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan pertama adalah kebijakan perundang-undangan dalam mengatur tindak pidana di bidang ekonomi. Lahirnya hukum pidana ekonomi diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat yakni NU No.7/PNPS/1955 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi. Undang-Undang ini lahir untur mengatasi masalah ekonomi setelah penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Unang-undang ini pada dasarnya hanya merupakan saduran dari Undang-Unang Pidana Ekonomi di Belanda yakni Wet op de Economische Delicten. Di Belanda undang-undang ini dibuat untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi setelah perang dunia ke-2
Undang-undang ini sebenarnya menjadi wadah hukum pidana di bidang ekonomi dengan mengakomodasi perkembangan yang terjadi. Di Belanda, semua tindak pidana di bidang ekonomi diakomodasikan ke dalam Wet op de Economische Delicten. (Farid dan Hamzah, 2006:1) Namun di Indonesia hal itu tidak ditempuh, karena tindak pidana ekonomi yang lehir berikutnya dimuat dalam berbagai undang-undang, sehingga pengaturan tersebar dan tidak tertata dengan cermat. Akibatnya berbagai kebijakan hukum pidana yang diambil tidak kosisten.
Permasalahan berikutnya berkaitan dengan kebijakan dalam peraturan di bidang pidana ekonomi dalam kaitannya dengan fungsi hukum pidana. Secara umum hukum pidana dalam sistem hukum mempunyai fungsi sekunder artinya hukum pidana merupakan upaya hukum terakhir dalam penanggulangan terhadap berbagai permasalahan dalam masyarakat, termasuk dalam kejahatan di bidang ekonomi. Dengan fungsi ini berarti bahwa sepanjang ada upaya lain atau mekanisme lain baik melalui mekanisme keperdataan, mekanisme administratif atau mekanisme lainnya, maka hukum pidana tidak perlu campur tangan. Fungsi ini disebut juga dengan Ultimum Remedium. (Soedarto, 1977: 30)
Namun dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, khususnya yang memuat aturan kepidanaan, tidak begitu jelas dan konsisten apakah fungsi subsider dari hukum pidana ini menjadi kebijakan yang utama dalam pembentukan dan penegakan hukum pidana di bidang ekonomi. Hal ini dalam penegakan hukum juga menimbulkan konsekwensi yakni tidak begitu jelasnya apakah penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata dalam pelanggaran hukum di bidang ekonomi akan menghapuskan hukum pidana.
Sehubungan dengan permasalahan ini dalam penegakan hukum sering terjadi kontroversi bilaman aparat hukum terkait menggunakan pendekatan hukum pidana dalam fungsi primer akan menimbulkan kritikan dari sebagaian anggota masyarakat. Sedangkan di pihak lain khususnya pelaku ekonomi menghendaki penyelesaian keperdataan atau administratif lebih baik. (Romli,2003: XLV)
Oleh sebab itu, DPR sebagai lembaga yang diberi wewenang membentuk peraturan perundang-undangan harus dengan tegas menentukan kebijakan yang ditempuh berkaitan dengan fungsi hukum pidana.
Permasalahan berikutnya berkaitan dengan konsistensi hukum pidanadi bidang ekonomi dalam pengaturan mengenai sanksi pidana. Berbagai undang-undang pidana ekonomi tidak konsisten dalam penetapan sistem pemidanaan , terutama dalam penerapan stelsel kumulasi dan alternatif dalam pidana pokok. Begitu juga dalam penetapan saksi minimal khusus dalam berbagai tindak pidana di bidang ekonomi. Akibatnya, penerapan sanksi pidana oleh hakim tidak kurang memenuhi aspek keadilan, karena hakim diberikan ruang kebeasan yang sangat luas dalam penerapan sanksi pidana.
Aturan penegakan hukum khususnya dalam penyidikan yang terdapat dalam berbagai ketentuan hukum pidana ekonomi juga tidak konsisten. Di satu pihak terdapat undang-undang yang penyidiknya adalah penyidik khusus. Di pihak lain terdapat undang-undang pindana ekonomi yang penyididiknya penyidik umum yakni kepolisian dan penyidik khusus yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang penyidikan. Hal ini di satu pihak dapat mengakibatkan rivalitas dalam pelaksanaan tugas dan dipihak lain dapat mengakibatkan tumpang tindihnya penyidikan aterhadap suatu tindak pidana di bidang ekonomi.
Dalam koordinasi antara penegak hukum khususnya antara penyidik dan penuntut umum juga terlihat inkonsistensi. Di sebagian peraturan perundang-undangan terdapat aturan yang menentukan bahwan pelaksaan koordinasi penyidikan dan penuntutan dilakukan antara penyidik Polri dan jaksa, hal ini mengakibatkan penyidik khusus (penyidik PNS) berada di bawah koordinasi penyidik Polri. Sementara di pihak lain terdapat undang-undang yang menetapkan bahwa penyidik PNS bisa langsung melakukan koordinasi dengan kejaksaan, tanpa melalui penyidik Polri. Hal ini dapat mengakibatkan tidak terkoordinasinya fungsi penyidikan dengan baik, karena sebagian penyidik PNS tidak diberi wewenang untuk melakukan upaya paksa. Gambaran di atas menunjukkan bahwa tidak jelasnya kebijakan hukum pidana dalam upaya untuk menanggulangi tindak pidana di bidang ekonomi.
Kebijakan hukum Pidana (penal policy) merupkan suatu upaya untuk mewujudkan peraturan hukum pidana dirumuskan lebih baik untuk memberi pedoman tidak hanya bagi masyarakat/warga negara melainkan juga penegak hukum untuk menerapkan aturan hukum pidana. (Hamdan, 1997:19) Menurut Sudarto, Politik hukum pidana mencakup:
a. Kebijakan negara melalui badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mencapai apa yang dicita-citakan.
b. Usaha untuk mewujudkan peraturan yang baik sesaui dengan keadaan dan sistuasi pada waktu tertentu. (Soedarto,1986:151
Selanjutnya A Mulder menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk menentukan. (Hamdan,1997:20)
a. Sejauh mana ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu diubah dan
diperbarui.
b. Apa yang diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan upaya untuk memilih norma (law choosing) hukum/substansi hukum pidana, menetapkan (law-making) dan melaksanakan norma (law enforcing) hukum pidana. Semua upaya tersebut tentu saja dilaksakan oleh aparat dan institusi yang berwenang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam suatu negara tentu saja harus sesuai dengan dasar filosifi, sosial dan yuridis suatu masyarakat. Khusus dalam hukum pidana ekonomi kebijakan hukum pidana ekonomi tentu harus mendukung upaya-upaya pembangunan ekonomi negara.
Walaupun kebijakan hukum pidana sangat memegang penting dalam mendukung upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi negara, namun upaya pendekatan lain (non-penal policy) harus tetap dilakukan. Dengan demikian Masalah utamanya adalah bagaimana mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan atau kebijakan non-penal dan penal kearah penegakkan dan pengurangan faktor-faktor yang potensial tumbuh suburkan kejahatan.(Muladi dan Arief,1992:161)
Agar suatu kebijakan yang ditempuh benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi suatu masyarakat, maka semua upaya itu harus dimulai melalui pemilihan norma hukum dan penetapan norma hukum oleh lembaga negara khusunya lembaga legislatif. Oleh sebab, itu harus memperhatikan landasan filsafat, sosial dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Dalam pembentukannya, selanjutnya suatu peraturan perundang-undangan harus memuat asas-asass seperti demokratis, partisipatif, sustainability. Kesemuanya itu sangat menentukan dalam efektivitas dari segi pencapaian tujuan (doeltreffendheid), keterlaksanaan (uitvoerbaarheid) dan ketertegakkan (handhaafbaarheid) dari semua aturan tersebut. (Yuliandri, 2007:62)
Upaya penanggulangan tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang ekonomi tentu saja sangat membutuhkan suatu kebijakan yang tepat mengingat tindak pidana ekonomi mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan kejahatan konvensional. Tindak Pidana ekonomi sebagai sebuah tidak pidana sangat erat kaitannya dengan motif dan kebijakan ekonomi. Bagitu pula akibat yang ditimbulkannya jauh lebih luas dampatnya di banding kejahatan konvensional. Kalau tindak pidana pencurain, misalnya kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat terbatas sekali. Sedangkan kejahatan ekonomi mempunyai dampak yang sangat luas bagi masyarakat.
Tindak pidana ekonomi sebagai suatu bentuk tindak pidana yang melanggar berbagai aturan di bidang ekonomi jelas mempunyai kerakter sendiri. A Mulder mengatakan bahwa hukum pidana ekonmi mempunyai kekhususan yakni:
a. Sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan atau pasar;
b. Bersifat elastis dan tidak ditepatkan di bawah Stricta interpretatio;
c. Sanksi dapat diperhitung oleh mereka yang bersangkutan (Hamzah,1986: 23)
Walaupun tindak pidsna ekonomi seperti yang dikemukakan di atas, bersifat elastis dan tergantung pasar dan adanya kemungkinanan para pihak yang bersangkutan menetukan sanskinya, namun dari aspek makro, tindak pidana di bidang ekonomi berdampak sangat luas yakni dapat merusak bahkan menghancurkan stabilitas dan pembangunan ekonomi itu sendiri .
Berbagai bentuk tindak pidana ekonnomi yang terjadi menunjukkan bahwa dampak dari tindak pidana tersebut sungguh memberikan jangkauan yang sangat luas. Berbagai kasus perbankan baik yang terjadi di Indonesia, dan di luar negeri menimbulkan hilangnya kepercayaan kepada perbankan, padahal bank merupkan salah saktu sektor penting dalam perekonomian. Begitu pula halnya dengan tindak pidana lain yang sangat terkait dengan aktivitas ekonmi seperti di bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan dan lainnya juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Oleh sebab itu upaya pengkajian dan guna pengambilan kebijakan yang tetap sangat penting dalam menunjang pembangunan itu sendiri. (Wibowo, 2007:47)
Pengaturan tindak Pidana ekonomi dalam sistem hukum pidana Indonesia merupakan salah satu bentuk dari hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht). Pada awalnya persoalan ekonomi hanya merupakan persoalan administratif dan keperdataan. Namun mengingat pemerintah membutuhkan adanya suatu upaya pelaksanaan untuk pemberlakuan hukum ekonomi, maka diperkuat dengan sanksi pidana sehingga melahirkan aturan hukum pidana ekonomi.
Walaupun demikian penggunaan hukum pidana sebagai sarana utama harus dipertimbangkan. Pengendalian ekonomi yang semata-mata menggunakan hukum pidana dapat mengakibat overcriminnalization dan sekaligus dapat menimbulkan dampak negatif juga bagi perekonomian. (Soedarto,1986:23) Adanya sanksi pidana dalam berbagai undang-undang di bidang ekonomi mestinya hanya berfungsi sebagai pengawal agar aturan yang ada ditaati. (Hamzah, 2007: 25)
Walaupun secara hukum fungsi hukum pidana sebagi ultimu remidium (upaya terakhir) namun ada kecendrungan untuk menggunakan pidana sebagai upaya yang pertama (premium remedium). Dalam hal tertentu memang dimungkinkan, seperti yang dikemukakan oleh H.G. de Bunt yakni dengan alasan: korban yang sangat besar, terdakwa residivis dan kerugian tidak dapat dipulihkan(irreperable)(Romli,2003,:79) Secara umum pandangan tersebut dapat dibenarkan, namun dalam bidang perekonomian hal itu perlu dipertimbangkan secara khusus.
Di samping itu, penggunaan sarana penal atau sanksi pidana yang merupakan ciri dominan dalam sistem hukum pidana konvesional dirasakan kurang tepat. Sanksi pidana sebagai upaya pencegahan (prevensi) dan penjeraan (detterance) tidak sepenuhnya didukung oleh suatu fakta empiris. Malahan terdapat kajian empiris yang membuktikan sebaliknya:
“An altrnative hypothesis holds that variation in the certainty and sevirity of punishment do not significantly deter the criminal. Rather crime is a result of a complex set of socioeconomic factors or possibility biological factor. The appropriate way ti minimize the social cost of the crime is to attct the root causes of crime, and programs designed to alleviate sociual, economi, and biological causes of crime.” (Cooter and Ulen,2004;484)

Keseluruhan upaya penanggulangan kejahatan termasuk tindak pidana ekonomi yang melalui jalur represif atau penegakan hukum pada dasarnya berada dalam satu sistem atau satu kesatuan yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Di samping melalui jalur repressif, penanggulangan kejahatan juga dapat dilakukan melalui jalur preventif yang merupakan setiap usaha untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan. (Hamzah, 1998:2)
Dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat, upaya represif merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari, karena bagaimanapun akan selalu terjadi suatu tindak pidana yang melahirkan konsekuensi harus dilakukan upaya penegakkan hukum (law enforcement). Penegakkan hukum pidana membutuhkan aturan prosedural yang mempunyai cakupan yang luas dan berada dalam suatu kerangka Sistem Peradilan Pidana.
Sebagai suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang terdiri dari sub-sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yakni untuk melakukan penegakan hukum pidana (Criminal Law Enforcement). Walaupun masing-masing sub-sistem merupakan suatu institusi yang mandiri dan mempunyai tugas dan kewenangan sendiri, semua sub-sistem itu dihubungkan oleh suatu mata rantai yang menyatukan gerak langkah operasional masing-masingnya. Dari kesemua mata rantai tersebut akhirnya akan bermuara pada penegakan hukum secara konkrit dalam suatu kasus tertentu. Conklin menggambarkan: “The Criminal justice system has been descired as a funnel or sieve that sorts out cases”. (Conklin, 1994:391)
Upaya pencegahan tindak pidana di bidang ekonomi membutuhkan integrasi dari berbagai sub-sistem peradilan pidana terdiri dari berbagai sub-sistem yang idealnya harus merupakan satu kesatuan (integrated). (Reksodiputro, 1994: 85) Dengan demikian, persoalan penegakkan hukum seperti penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan hukuman harus berada dalam suatu sinkronisasi dan koordinasi yang baik. Kalau tidak, sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Selanjutnya upaya penegakkan hukum tidak akan berjalan secara maksimal. (Allen , 2001:4)

III. METODE PENELITIAN

Untuk meneliti permasalahan dalam penelitian ini digunakan pendekatan penelitian hukum normatif (legal research) dan pendekatan penelitian hukum sosiologis (socio-legal research). Pendekatan hukum normatif ini terutama ditujukan untuk melakukan inventarisais hukum, kajian sinkronisasi dan koordinasi, serta pencarian asas-asas hukum dalam hukum pidana di bidang ekonomi.(Rahardjo, 1984; 66)
Dalam penelitian yang bersifat yuridis normatif data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yakni berbagai bahan hukum yang berkaitan dengan kebijakan pidana dari berbagai aturan dalam tindak pidana di bidang ekonomi. Bahan-bahan hukum yang dimaksud baik yang bersifat primer yakni peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang.
Penelitian untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan dengan studi dokumentasi, khususnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan internal yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam berbagai aturan terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi.
Analisis data digunakan dengan metode kualitatif dan (content analysis) terhadap peraturan perundang-undangan yang dikumpulkan. Langkah pertama adalah dengan melakukan inventarisi peraturan yang berkaitan dengan bidang perekonomian.



IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Inventarisasi undang-undang terkait dengan Tindak Pidana di Bidang Ekonomi
Kebijakan hukum pidana tertuang dalam kebijakan legislasi dan pebijakan bidang penegakan hukum suatu aturan di dalam negara. Tindak pidana di bidang ekonomi sebagai suatu bentuk hukum yang berkembang dan dinamis terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan pembatasan konsep, maka yang dimaksud di sini adalah peraturan yang terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi yang terdapat di luar kodifikasi atau KUHP.
Untuk membahas kebijakan hukum pidana tentu harus dibahas terlebih dahulu kebijakan legislasi atau pengaturan dalam perundang-undangan terkait dengan tindak pidana ekonomi. Selanjutnya untuk melakukan pengkajian kebijakan tersebut dapat dilihat kebijakan hukum pidana. Untuk melakukan anaslisis tentang kebijakan hukum pidana terlebih dahulu dengan melakukan inaventarisasi aturan hukum pidana dalam hal ini undang-undang terkait dengan tindak pidana ekonomi.
Dari hasil inventarisasi yang dilakukan dapat dihimpun aturan-aturan terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi seperti di bawah ini:

1. Undang-undang No. 7/drt/Tahun 1955 tentang Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi
2. Undang-Undang No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
3. Undang-Undang No. 6 tahun 1983 jo Undang-Undang no. 16 Tahun 2000 jo Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan
4. Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
5. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
6. Undang-Undang No. 10 tahun 1995 jo Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
7. Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup
8. Undang-undang No.5 Tahun 1999 Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
9. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
10. Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo Undang-Undang No.3 Tahun 2004
11. Undang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang lalu Lintas Devisa
12. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
13. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten
14. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Hak Merek
15. Undang-Undang No 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.25 tahun 2003 tentang Pencucian Uang.
16. Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan
17. Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Yindak Pidana Perdagangan Orang
18. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Informasi Elektronik
Kesemua undang-undang itu dapat dibagi ke dalam beberapa bidang dalam perekonomian. Dalam hal ini klasifikasi yang dilakukan mencakup:

B. Pembasasan
Dari analisis yuridis yang dilakukan terhadap berapa undang-undang yang mengatur tindak pidana di biang ekonomi seperti yang dikemukakan di atas, telah dilakukan pembahasan terhadap kebijakan hukum pidana yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Kebijkan hukum pidana itu terlihat dalam pengaturan baik hukum pidana materil ataupun hukum pidan formil.
Kebijakan yang termuat dalam hukum pidana materil mengatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan:
a. ruang lingkup pengaturan
b. perumusan delik
c. Unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana
d. perumusan pidana dan pemidanaan
e. hubungan sanksi administratif dan sanksi pidana
Kebijakan yang termasuk ke dalam hukum pidana formil adalah:
a. Pengaturan tentang penyidik, penyidikan dan wewenang penyidikan
b. Pengaturan tentang penuntut umum, penuntutan dan kewenangan penuntutan
c. Koordinasi antara penyidik dengan penyidik dan penyidik dengan penuntut umum;
d. Pengaturan tentang peradilan atau pemeriksaan di persidangan
Dalam pembahasan ini akan dilihat kecendungan kebijakan hukum pidan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
1. Ruang lingkup pengaturan
Dari penelitian yang dilakukan dapat diungkapkan bahwa bahwa semua undang-undang yang ada dalam bidang-bidang ekonmi yang disebutkan itu (11 bidang) memuat aturan tentang hukum pidana materil sedangkan untuk hukum pidana formil hanya 9 peraturan yang memuatnya, yakni Undang-Undang Anti monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat dan Undang-Undang tentang Pencucian uang. Artinya tidak semua kebijakan hukum pidana dalam menetapkan hukum pidana formil termuat dalam undang-undang terkait dengan tindak pidana ekonomi. Walaupun demikian sebenarnya undang-undang tersebut tetap memuat tentang hukum acara pidana. Misalnya dalam undang-undang Anti Monopoli diatur kapan pelanggran undnag-undang itu bisa diserahkan kepada penyidik.
2. Perumusan delik
Dari analisis yang dilakaukan ternyata model perumusan delik tidak konsisten. Terdapat 3 bidang yang nggunakan perumusan delik dengan mengacu kepda rumusan perbuatan yang sudang dilarang sebelumnya. Terdapat 4 bidang yang perumusan deliknya dengan menciptakan delik sendiri dalam perbuatan yang dilarang. Sedangkan 4 bidang lainnya menggunakan model penggabungan perumusan delik dengan yang mengacu kepada rumusan yang sebelumnya dan menciptakan sendiri rumusan delik baru. Namun dalam sebagian undng-undang tersebut ada yang menggabungkan antara mengacu kepada perbuatan yang dilarang sebelumnya dengan menciptakan delik yang baru.
3. Unsur Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (unsur kesalahan)
Tidak semua aturan pidana khusus di bidang ekonomi yang memuat dengan jelas unsur kesalahan baik itu kesengajaan atau kealpaan yakni sebanyak 6 aturan pidana khusus. Sebanyak 7 aturan pidana khusus memuat aturan tentang sengaja dan yang lainnya menyebut unsul kealpaan.Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi misanya menyebutkan delik dengan unsur kesengajaan dan kelalaian. Namun dalam sebagian perumusannya tidak disebutkan unsur kesengajaan. Demikian juga Undang-Undang Perpajakan menyebutkan unsur kesengajaan atau kealpaan dalam rumusan deliknya. Sebaliknya dalam Undang-Undang Anti Monopoli tidak disebutkan unsur kesengajaan atau kelalaian dalam rumusan deliknya. Secara praktis tentu ini akan berdampak pada pembuktian unsur tindak pidana di sidang pengadilan.
4. Pertanggungjawab Korporasi
Pertanggungjawaban korporasi merupakan sebuah mekanisme untuk memperluas pertanggunjawaban pidana tidak hanya terhadap orang (natuurlij persoon), melainkan juga kepada badan hukum. Mengingat aktivitas ekonomi banyak dilakukan oleh korporasi, dan kadang kala sulit minjadi pelaku materilnya, maka pertannggung jawaban diperluas samapai ke badan hukum. Namun dalam kebijakan hukum pidana yang terdapapt di bidang perbankan hanya 7 undang-undang yang memuat aturan tentang pertanggungjawaban korporasi dan 4 lainnya tidak mengatur. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi dan Unang-Undang Lingkungan Hidup menyebutkan dengan tegas tindak pidana/pertanggungjawaban korporasi. Sebaliknya dalam tindak pidana perbankan dan perpajakan tidak diatur tentang pertanggungjawaban korporasi. Hal ini tentu akan menimbulkan pertanyaan, karena dalam kedua tindak pidana itu ada kemungkinan keterlibatan sebuah korporasi.
5. Pembedaan Kejahatan dan Pelanggaran
Klasifikasi tindak pidana atas kejahatan dan pelanggar sangat menentukan pengaturan lembaga hukum lain dalam hukum pidana seperti perbuatan percobaan dan melakan. Namun dalam tindak pidana ekonomi tidak semua undang-undang khusus tersebut mengatur dengan tegas perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan dan pelanggaran. Hanya terdapat enam aturan yang mengatur tentang adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran. Undang-Undangan Lingkungan Hidup dan Pencucian uang mengatur pembedaan antara delik kejahatan dan pelanggaran. Sedangkan dalam undang-undang Hak kekayaan Intelektual dan Undang-Undang Perpajakan tidak diatur apakah suatu delik adalah kejahatan atau pelanggaran.
6. Pengaturan Percobaan dan membantu melakukan
Berhubungan dengan pengaturan lembaga hukum percobaan dan membantu melakukan, hanya terdapat lima peraturan yang mengatur mengenai percobaan 6 lainya tidak mengatur. Terdapat hanya dua peraturan yang mengatur lembaga membantu meakukan sedangkan 9 lainnya tidak mengatur. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi misalnya diatur baik mengenai percobaan an membantu melakukan. Sedangkan dalam tindak pidana Perbankan tidak diatur sama sekali tentang percobaan dan membantu melakukan. Sedangkan dalam Tindak Perikanana hanya diatur tentang percobaan, tetapi tidak mengatur mengenai membantu melakukan.
7. Perumusan sanksi Pidana/jenis pidana
Sanksi pidana merupakan suatu dasar pembentukan hukum pidna khusus khususnya di bidang ekonomi karena kebijakan pidanan dan pemidanaan yang ada tidak sejalan lagi dengan kebutuhan dan perkembangan. Oleh sebab itu aturan pidana dan pemidanaan dibuat menyimpang dari aturan khusus dengan menggunakan asas kumulasi. Ternyata pengaturannya sangat beragam. Terdapat 7 perturan yang menggunakan kumulasi stelse atau penggabunagn dua pidana pokok. Tiga peraturan laiinya menganut kumulasi tidak murni atau terserah kepa hakim untuk menggunakan alternatif atau kumulatif. Terdapat dua peraturan yanga masih menggunakan sistem alternatif. Tindak Pidana Ekonomi misalnya masih mengngunakan sistem alternantif, sedangkan tindak pidana perpajakan dan pasar modal menggunakan sistem kumulasi. Sebaliknya Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual) HaKI menggunakan kumulasi tidak murni (alternatif-kumulatif).
8. Sanksi Pidana (Strafmaat)
Dihubungkan dengan lamanya atau besarnya pidana, undang-undang pidana khususnya sebenarnya menghendaki agas sanksinya lebih berat dengan sedikit membatasi kebebasan hakim dalam menentukan lamanya pidana. Hal itu dilakukan dengan menerapkan stelsel minimum khusus. Ternyata dari penelitian terlihat bahwa tidak satupun aturan yang menerapkan minimum khusus yang murni. Hanya terdapat lima aturan yang menggunakan minimum dan maksimum khusus artinya pilihan hakim masih antara minimim dan masksimul lamanya/besarnya pidana yang dapat dijatuhkan. Sedangkan enam aturan masih menggunakan maksimum khusus, artinya terdapat luasnya kebebasan hamin menjatuhkan lama/besarnya pidana. Undang-Undang Perbankan dan perpajakan masih mennggunakan. Tidak ada satu aturanpun yang menerapkan minimum khusus. Undang-Undang Pasar Modal dan Perpajakan masih menggunakan stelsel maksimal khusus. Undang-Undang Perbankan dan HaKI menggunakan minimal khusus dan maksimal khusus.
9. Hubungan sanksi Administratif dan Pidana
Berkaitan dengan pengaturan sanksi administratif dan pidana, ternyata tidak semua undang-undang yang memuat hubungan antara sanksi administratif dengan sanksi pidana. Memanga terdapat delapan aturan yang mengatur sanksi pidana dan terdapat tiga aturan yang tidak memuat dengan tegas. Namun dari undang-undang yang dibahas hanya terdapat satu aturan yang tegas menyatakan bahwa pengenaan sanksi administratif tidak mengahapuskan pertanggungjawaban pidana. Hanya undang-undang perbankan yang dengan jelas menyebutkan bahwa penjatuhan sanksi administratif tidak menghilangkan pertanggungjawaban pelakunya. Terdapat undang-undang yang mengatur hukum administrasi berkaitan dengan sanski pidana, namun tidak disebutkan ahubungan antara kedua sanksi tersebut, misalnya dalam undang-undang Anti Monopoli dan Undang-Undang Perpajakan.
10. Penyidikan
Salah satu kekhasan dalam hukum pidana khusua adalah aturan tentang penyidik dan penyidikan yang bersifat khusus pula. Dari penelitian ternyata diketahui bahwa masih terdapat tiga undang-undang yang menetapkan tidak adanya penyidik khusus, misalnya Undang-Undang Perbankan dan Pencucian Uang. Dengan demikian penyidiknya adalah penyidik umum. Terdapat tiga peraturan yang menyatakan bahwa penyidiknya hanya penyidik khusus jadi tidak dibolehkan dilakukan oleh penyidik umum, misalnya dalam tindak pidana kepabeanan dan Pasar Modal. Namun terdapat juga 5 peraturan yang menetapkan penyidik lebih dari satu, seperti undang-udang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Perikanan.
11. Koordinasi Penegak hukum
Koordinasi penegakan hukum khususnya di bidang penyidikan terlihat bahwa terdapat 4 peraturan yang harus ada koordinasi anatar penyidik khusus dengan penyidik Polri, misalnya dalam undang-undang Kehutanan dan HaKI. Terdapat 5 aturan yang hanya mengatur koordinasi antara penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan penuntut umum, seperti undnag-undang perpajakan dan kepabeanan. Terdapat 7 peraturan yang menetapkan bahwa koordinasi dengan penunut umum harus melalui penyidik Polri, seperti undang-undang perbankan dan Pencucian Uang.
12. Pengaturan Penuntutan

Berkaitan dengan jaksa//penuntut umum, sebagian besar undang-udang (9 undang-undang) menetapkan bahwa penuntut umum tetap berdasarkan aturan pidana umum. Namun 2 undang-undang menetapkan adanya jaksa khusus, walaupun secara kelembagaan tetap dalam lembaga kejaksaan. Hal itu ditemukan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Perikanan.
13. Pengadilan khusus

Berkaitan lembaga peradilan, terdpat 9 peraturan yang menentukan bahwa peradilan yang menyidangkan perkara pidana tetap melalui peradilan umum. Sedangkan 2 undang-undang amenetapkan abahwa terapat peradilan akahusus yang menang. Yang mengatur tentang adanya peradilan khusus hanya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Perikanan.
14. Aturan Persidangan
Walaupun sebagian besar pengadilan dalam tindak pidana ekonomi tetapa diadili peradilan umum, namun ternyata juga terdapat beberapa pengaturan yang memuat aturan tentang hukum acara, seperti aturan tentang peradilan in absentai, aturan tentang, aturan tentang hakim putusan dan sebagainya. Undang-Undang yang mengatur cukup banyak aturan persidangan adalah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Piadana Ekonomi dan Undang-Undang Perikanan.Sedangkan dalam Undang-Undang tentang Pencucian Uang dan dalam Undang-Undang Antimonopoli juga terdapat aturan pemeriksaan di pengadilan, walaupun tidak diatur adanya peradilan khusus.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari uraian tentang kondisi pengaturan tentang kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi sebelumnya dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut berikut:
1. Kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh lembaga legislatif tidak memperlihatkan adanya konsistensi, sinkronisasi dan harmonisasi anatara berbagai aturan yang ada baik berkaitan asas-asas hukum pidana materil ataupun hukum pidana formil.
2. Fungsi hukum pidana dalam berbagai aturan hukum pidana di bidang ekonomi tidak memperlihatkan adanya konsistensi. Di sebagian peraturan perundang-undangan Hukum pidana dijadikan hukum dalam fungsi yang primer dan di sebagian lagi menggunakan fungsi hukum sekunder artinya lebih mengutamakan pendekatan hukum lain seperti hukum perdata dan administratif.
3. Kebijakan sistem pemidanaan juga tidak memperlihatkan adanya konsistensi dan keseragaman. Di sebagian peraturan perundang-undangan di gunakan sistem alternatif, disebagian lagi menggunakan sistem kumulasi dan di sebagian lagi menggunakan sistem kumulasi tidak murni.
4. Berbagai aturan yang ada dalam tindak pidana ekonomi tidak memperlihatkan adanya sinkronisasi dalam berbagai konsep hukum seperti perumusan delik, penetapan unsur delik, pertanggungjawaban pidana, penetapan sistem pidana dan pemidanaan dan, aturan acara dan peradilan pidana.
5. Kordinasi berbagai aparat hukum terkait dalam bebagai aturan hukum pidana di bidang ekonomi tidak memperlihatkan konsistensi. Di sebagian undang-undang ada koordisansi antara penyidik PNS dengan penyidik Polri, di sebagian lain tidak mengharuskan adanya koordinasi. Di sebagian undang-undang terdapat penyidik khusus dan di sebagian lain terdapat beberapa instansi yangt berwenang melakukan penyidikan
B. Saran
1. Penyusunan berbagai aturan hukum pidana di bidang ekonomi oleh lembaga legislatif hendaknya memperhatikan prinsip sinkronisasi dan harmonisasi antar berbagai aturan hukum yang ada, sehinga pengekan hukum akan lebih mudah dan pasti.
2. Undang-undang hukum pidana di bidang ekonomi seharusnya tetap menempatkan hukum pidana dalam fungsi sekundernya. Artinya penegakan hukum harus lebih memprioritaskan penegakan hukum melalui mekanisme hukum administrasi dan keperdataan.
3. Kebijakan sistem pidana dan pemidanaan seharusnya lebih konsisten dengan mengunakan sistem alternatif murni serta menggunakan stelsel minumum khusus sehinga akan mengurangi keleluasaan hakim dan lebih menjamin pengembalian kerugian negara atau masyarakat.
4. Berabagai aturan hukum pidana hendaknya lebih memperhatikan sinkronisasi dalam penggunaan konsep hukum seperti dalam penyidikan, penuntutan, peradilan, unsur dan pertangungajawaban pidana sehing aturan hukum yang ada lebih sistematis dan terpadu.
5. Koordinasi antara berbagai penegak hukum terkait dalam tindak pidana di bidang ekonomi hendaknya mengacu kepada ketentuan hukum pidana umum yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan mengacu kepada Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) sehingga akan lebih memudahkan kepada bekerjanya sub sistem peradilan pidana dan penegakan hukum pidana.








DAFTAR PUSTAKA
Adhi Wibowo, Analisis kejahatan Perbakan Perspektif hukum Pidana, dalam Jurnal Hukum Respublika, Vol,7, No.Univ. Lancang kuning, Pekanbaru, 2007
Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi. Erlangga, Jakarta, 1991
___________, Pemberantasa Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional Rajagrafindo, Jakarta, 2007
A.Z. Abidin farid, dan Andi hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, Rajawali, Jakarta, 2006
Allen, Ronald Jay, et al. (2001) Comprehensive Criminal Procedure, New York, Aspen Law & Business
Conklin, John E., (1994) Criminology, Fouth Edition, New York, Macmillian Publishing Company
Fuad Bawazier, Tindak Pidana Kepabeanan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vo.3 No.4, Desember 2006, Depekeh, Jakarta, 2006
Fitzgerald, Jack D dan Cox Steven M., Research Methode in Criminal Justice System, An Introduction, (1992), Chicago, Nelson-Hall
Hamzah, A., Reformasi Penegakan Hukum, (1998), Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
Komariah Emong Sapardjaja,2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung, Penerbit Alumni,
Mardjono Reksodiputro (1994). Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia
__________, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Universitas Indonesia. 1994
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Rajawali, jakarta, 1997
Muladi dan Arief, Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (1992) Bandung, Alumni
PAF.Lamintang dan Djisman Samosir, 1995. Delik-delik Khusus: Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak Yang Timbul dari Hak Milik. Bandung: Tarsito.
Purbacaraka, Purnadi., Halim A.Ridwan, Filsafat Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers
Rahardjo, Satjipto. (1984) Masalah Penegakan Hukum, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Rizal Alif, Penyalhgunaan Dana BLBI sebagai Kejahatan Kerah Putuih di Indonesia, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.2 tahun 2008,
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana, Jakarta, 2003
Robertt Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, Pearson Boston, 2004
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986
_________, Hukum Pidana dan Perkembangan Msyarakat, Sinar Baru, bandung, 1983
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik dalam rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan, Ringkasan Disertasi, Airlangga, Surabaya, 2007
Zulkarnain Sitompul. Problematika Perbankan, BooksTerrance&Library. Bandung. 2005. Hal 244

Tidak ada komentar:

Posting Komentar