Sabtu, 30 Oktober 2010

PENGEMBANGAN KONSEP EKONOMI KERAKYATAN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

PENGEMBANGAN KONSEP EKONOMI KERAKYATAN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

I. Pendahuluan
Pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Orde Baru dalam beberapa hal telah menunjukkan keberhasilan. Namun di pihak lain telah terjadi kekeliruan dalam kebijkan dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Kekeliruan yang sangat mendasar itu telah mengakibatkan Indonesia terpuruk kedalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga membutuhkan waktu dan tenaga untuk yang besar untuk kembali untuk kepada keadaan normal.
Kebijakan yang lebih terfokus kepda pencapaian target pertumbuhan (economic growth) telah mengakibatkan pemerintah lebih menguamakan perkembangan perusahaan besar dengan tujuan untuk mengahsilkan devisa. Kebijakan tersebut dilaksanakn dengan asumsi bahwa pertumbuhan nantinya dengan sendirinya akan melahirkankan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat sesuai dengan teori “tricle down effect” .
Keadaan seperti dikemukakan di atas bagi perusahaan telah menimbulkan karakter untuk berkembang dengan cepat tanpa melalui suatu proses alamiah, melainkan dengan memaanfaatkan berbagai fasilitas pemerintah serta perilaku bisnis yang tidak sehat. Upaya lain yang dilakan oleh perusahaan adalah dengan mencari modal asing melalui pinjaman komersial yang bereriko tinggi dalam bentuk commercial paper. Pinjaman tersebut juga dilakukan dengan sistem nilai tukar mengambang atau tanpa melakukan hedging.
Akibatnya, dengan terjadinuya krisis ekonomi dan melemahnya nilai tukar rupiah, pengusaha yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban terhadap kreditor luar neger. Pada saat yang sama perusahaan tersebut mengalami likuiditas karena rendahnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan restrukturisasi modal. Pilihan yang dianggap paling menguntungkan kedua belah pihak adalah dengan melaukan perubahan utang menjadi penyertaan modal (debt –equity swap). Konsekwensinya adalah banyak perusahaan Indonesia yang berubah kepemilikan menjadi milik asing.
Upaya untuk memacu pertumbuhan yang bertumpu pada pengusaha besar telah mengakibatkan pengusaha menengah dankecil menjadi terabaikan, padahal secara kuantitas perusahaan-perusahaan tersebut jauh melebihi perusahaan besardan mencakup lebih banyak rakyat. Di samping itu secra empiris terbukti bahwa perusahaan menengah dan kecil lebih tanggung dan dapat survive dalam menghadapi badai krisis yang melanda.
Pilihan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada pertumbuhan tentu saja dilandasi oleh sistem dan strategi pembangunan ekonomi pemerintahan Orde baru. Sejak awal pemerintahan Orde Baru memang terlihat kecendrungan untuk mengikuti sistem liberal yang bertumpu pada teori Tricle down effect. Pandangan ini berpendirian bahwa melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi nantinya akan terladi limpahan kemakmuran kepad seluruh masyarakat, sehingga kebijakan diarahkan kepada peningkatan pendapatan (income per capita).
Namun secara empiris yang terjadi bukanlah seperti yang digambarkan oleh teori tersebut, melainkan semakin tingginya jurang aperbedaan anatar kelompok masyarakat yang kaya dengan yang miskin. Pada hal kelompok yang kaya hanya meliputi sebagian kecil dari rakyat, tapi mereka menguasai sebagian besar factor produksi. Sebaliknya kelompok yang miskin merupakan mayoritas masyarkat, namun hanya menguasai sebagain kecil factor produksi.
Ternyata pilihan terhadap tricle down effect tidak diikuti oleh beberapa asumsi yang menjadi dasar berlakunya teori ini, seperti informasi yang lebih merata, tingkat pendidikan yang cukup tinggi, serta bekerjanya mekanisme hukum. Akibat yang timbul adalah tidak terjadinya luapan kemakmuran seperti yang diperkirakan. Sebaliknya melahan melahirkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin yang semakin lebar.
Ambruknya pemerintahan Orde baru telah melahirkan pemikiran untuk mengkaji ulang kebijakan dan strategi pembangunan yang telah dilaksanakan. Salah satu topik yang menjadi perbincangan yang cukup hangat sampai saat ini adalah dimunculkannya kembali issu ekonomi kerakyatan. Pemerintahan sebagai pengganti Pemerintahan Soeharto kelihatannya secara lebih konkrit mencoba melontarkan kembali sistem ekonomi ini melalui berbagai kebijakannya, walaupun sebenarnya yang dilaksanakan pada dasarnya lebih bersifat memanjakan bukan memberdayakan. Walaupun demikian lontaran ersebut melahirkan berbagai tanggapan baik yang pro maupun yang kontra. Pihak yang mendukung berpendirian bahwa pilihan ini lebih sesuai dengan kondisi dan sistem kerakyatn Indonesia. Sebaliknya pihak yang kontra kuatir bahwa pelaksanaany sistem ini akan mematikan perusahaan besar sehingga pertumbuhan ekonomi sulit dicapai serta dianggap tidak sejalan dengan prinsip pasarbebas.
Palam pemerintahan selanjutnya yang merupakan hasil proses yang lebih demokratis pilihan kebijakan ekonomi tidak jelas. Bahkan dalam banyak hal untuk memenuhi tuntutan Dana Moneer Internasioan (IMF), kebijakan ekonomi kembali mengarah kepada liberalisme. Hal itu ditandai dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagai salah satu persyaratan (conditionality) mengucurnya dana IMF untuk membantu pemulihan kepercayaan pasar. Di samping itu untuk memenuhi kebutuhan anggran pemerintah telah melakukan privatisasi besar-besaran sehingga mengakibatkan peran pemerintah dalam ekonomi semakin berkurang, sebaliknya sector swasta semakin dominant.
Walaupun secara teoritis sestem ekonomi kerakyatan masih dianggap sebagai sistem ekonomi Indonesia dan sebagai salah satu pilihan untuk keluar dari krisis ekonomi, namun dalam kenyataannnya sistem itu belum dilaksanakan secara maksimal. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut hal-hal ang berkaitan dengan model dan implementasinya secara konkrit dan harus juga dicermati berbagai implikasi yang dapat timbul dari pilihan serta penerapannya.
Pilihan dan pelaksanana sistem ekonomi kerakyatan membutuhkan kajian tentang bagaimana konsekwensi yang timbul bla dihubungkan dengan sistem ekonomi pasar yang menjadi salah satu cirri globalisais, ataupun konsekwensi yang tibul dari munculnya ekonomi regional dan internasional. Juga harus dicermati apa tantangan yang dihadapi oleh sistem tersebut di tengah –tengah liberalisme ekonomi serta apa strategi-strategi yang harus dilakukan dalam menghadapi tantngan tersbut.
Tulisan ini mencoba meninjai berbagai implikasi yang dapat timbul dari pilihan ekonomi kerakayatan sebagai model dari sistem ekonomi pancasila.
II. Sistem Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan
Sistem mencakup beberapa pengertian. Pengertian pokok suatub sitem menunjukkan suatu entitas, suatu wujud, suatu benda abstrak atau konkrit dan sebagai suatu metode.
Sebuah sistem mempunyai unsur-unsur yang dapat berbentuk sekelompok orang, alat-alat, menis-mesin dan sebagainya. Suatu sistem pada dasarnya mempunyai cirri:
1. Mempunyai batas-batas (boundries) yang memisahkan dengan lingkungannya.
2. Terdiri dari sub-sistem yang disebut bagian atau unsur.
3. Mempunyai suatu keterkaitan antara masing-msing sub sistem.
4. Terdapatnya mekanisme kontrol yaitu dengan memanfaatkan sistem umpan balik (feed back).
5. dengan mekanisme kontrol yng dimilikinya, sistem dapat mengatur dirinya sendir.
Dengan demikian dalam suatu sistem terdapat satu kesatuan gerak dan upaya untuk mencapai tujuan. Bagian dari sistem mempunyai keterkaitan dan atau kesatuan yang salaing berkaitan namun masing-masingnya mempunyai kerangka dan ruang gerak sendiri untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Suatu sistem ekonomi tentu tidak terlepas dari pengertia sistem secara umumseperti yng dikemukakan di atas. Sistem perekonomian pada dasarnya mengatur pertukaran brang dan jasa yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian pada dasarnya sistme perekonomian mengautr dan menggerakkan setiap sistem perekonomian untuk menapai tujuan-tujuannya.
Secara umum dikenal beberapa sistem ekonomi yakni:
a.Sistem ekonomi pasar (kapitalis)
b. Sistem ekonomi perencanaan (sosialis)
c. Sistem ekonomi campuran
Suatu sistem perekonomia pasar pada dasarnya dilandasi oleh pemikiran bahwa paham liberalisme yang berkeyakinana bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dalam hidupnya. Sistem ini mempunyai sifat-sifat:
a. Kegiatan perekonomian digerakanoleh suatu invisible hand . Keadaan ini baru bisa berjalan bila dilandasi oleh asumsi bahwa manusia adalah rasional dan daya penyebar informasi sempurna dan tanpa adanya hambata.
b. Harga di pasar ditentukan sepenuhnya oleh hukum permintaan danpenawaran.
c. Pemerintah dalam perekonomian mempunyai tugas yang terbatas yakni hanya dalam bidang perlindungan warga negara, penjagaan keamanan, sertapenyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyakatar.
Sistem perekonomian perencanaan dilandasi oleh cita-cita untuk menghapus kelas-kelas dalam masyarakt. Pandangan ini berpendirian bahwa kelas pemilik modal atau kapitalis akan memanfaatkan segala factor ekonoi yang dimilikinya untuk mempertahankan kelasnya dan mengeksploitasi kelas lainnya untuk kepentingan sendiri. Untuk itu pemerintah harus campur tangan dalam segala kegiatan perekonomian agar keadilan den pemerataan dapat dicapai.
Campurtangan pemerintah dalam ekonomi perencanaan sangat besar sehingga warga negara hanya dianggap sebagai salah satu dari faktor produksi. Dengan demikian, individu pada dasarnya tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi melainkan atas dasar untuk kepentingan negara. Walaupun dalam perkembangannya sistem ini telah mulai membuka diri dengan keteribatan indiidu dalam ektivitas perekonomian, namun etap saja peran negara sangat dominant.
Sistem ekonomi campuran pada dasarnya bertujuan untuk mengambil dan menggabungkan segi-segi positif dari sistem ekonmi pasar dan perencanaan. Dalam sis tem ini keterlibatan pemerintah yang terlalu besar dibatasi dengan memberikan raung grak yang lebih luas kepada individu untuk terlibat dalam kegitan perekonomian. Keduanya diupayakan berjalan seimbang dan saling melengkapi.
Setiap negara pada dasarnya akan menjalankan sistem perekonomian yang mengacu kepada salahsatu sistm seperti yang dikemukakan di atas. Walaupun dmikian tida ada satu negarapun yang benar-benar mengikuti suatu sistem secara total. Dalam prakteknya selalu erjadi modeifikasi dan penyelasaran sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Negara Amerika Serikat misalnya yang mendasarkan kepada sistem ekonoi liberal masih mengenal campur tangan pemerintah terutama dalam bidang yang trkait dengan kesejahteraan umum. Hal inisejalan dengan berkembangnya paham welfare state (negara kesejahteraan) yang menghendaki agar negara dalam batas-batas tertentu terlibat dalam aktivitas perekonomia yang brtujuan untk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sistem perekonomian Indinesia yang dalam pasal 33 UU dasar 1945 dianggap lebih dekat dengan sisteme ekonomi campuran dan disebut juga dengan demokrasi ekonomi. Bung Hatta mengemukakan bahwa demokrasi ekonmi Indonesia didasari ats tiga pprinsip yakni: Etika Sosial yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasial, rasionalitas ekonomi yang diwujudkan dalam perencanaan ekonomi ekonomiserta organisasi ekonomi berdasarkan asas kebersamaan, keswadayan dan autoact.
Suatu sistem membutuhkan aplikasi dan aplikasi membutuhkan suatu strategi. Strategi dalam pembangunan perekonmian merupakan suatu pilihan atas faktor-faktor dan variable yang akan dijadikan faktor utama danmenjadi faktor penentu dalam proses pertumbuhan atau pembangunan.
Terdapat beberapa startegi dalam pembangunan perekonomian. Yang pertama aalah strategi strategi pertumbuhan yang berasal dari teori klasik. Strategi ini berpegang kepada asumsi tricle down effect. Yang kedua adakah strategi pembanguna dengan pemerataan (growth with wquity). Sedangkan yang ketiga adalah strategi pembangunan bergantung (teori dependensi).
Strategi pwmbangunan Indonesia selama pemerintahan Orde Baru seperti dikemukakan di atas, lebih bertumpu pada strategi pertumbuhan. Hal ini bisa dibuktikan dari kebijakan “trilogy pembangunan” Pilihan atas strategi tersebutmembuat pemerintahan Indonesia berupaya untuk memanfaatkan segala potensi ekonomi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Standar yang digunakan adalah tingkat pertumbuhan danpendapatana perkapita.
Untuk menopang strategi tersebut pemerintahsangat membutuhkan bantuan asing dengan memebrikan kesempatan dan fasilitas kepada perusaan besar dengan pertimbangan perusahaan besar lebih efisien. Akibantnya adalah kegiatan perekonomian sangat dikusai oleh beberapa perusahan besar baik dalam bentuk monopoli atau oligopoly. Pada hal cita-cita pembanguan semain diniali dengan dengan ukuran seerti pendapatan nasional, pendapat rata-rata penduduk , pada hal keadilan sulit dikuantifikasi dengan satu ukuran saja.
Pemilihan strategi tersebut diharapkan dengan sendirinya akanmelahirkan pemerataan pembangunan dan keadilan. Namun smeua yang diharapan tidak kunjung terealisasi. Sebagian fasilitas seperti kredit perbankan diberikan kepada perusaan besar (konglomerat). Sebaliknya pengusan menengah dan kecil sangat kesulitan untuk mendapatkan kredit sejenis.
Pada akhir pemerinthan Orde Baru kelihatannya mulai timbul kesadaran akan kekeliruan kebijakan ekonomi rezin berkuasa tersbut. Hal itu kelihatan dengan dimulai disinggungnya kembali tema ekonomi kerakyatan ddalam agenda kebijakan ekonomi pemerintah. H al itu terungkap dari mulai disinggungnya kebijaksanaan yang diambil oleh rezin berkuasa, namun pada saat yang bersamaan pemerintah tidak berdaya untuk menghadapai kekuatan ekonomi yang sarat dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang ditandai dengan pemberia fasilitas dan monopoli kepada sebagian kekuatan ekonomi yang ada.
Dalam berbagi pemerintahan setelah Soeharto sudah mengaktualkan beberapa program ekonomi kerakyatan dalam berbagi bentuk kegiatan. Tetapi agenda ekonomi kerakyatan yang dilaksanakan bukan berupakan suatu pelaksanaan dari grand design, melainkan hanya sebagai basa basi politik baik untuk melaksanakan bargaining politik ataupun sekedar mempertahankan image politik penguasa. Ekonomi kerakyatan hanya bersifat program, parsial dan setengah hati, bukan merupakan suatu kebijakan yang menyeluruh, sistemik dan total. Dalam masa pemerintahan Habibi misalnya dikucurkan dana sebesar Rp.12 trilyun untuk pengembangan ekonomi kerakyatan, namun tanpa program yang jelas sehingga gagal total, karena banyak ditujukan untuk kepentingan politik.

Walaupun sebagain besar pandangan mengatakan bahwa konsep ekonomi kerakyatan lebih sesuai dengan sikap hidup rakyat Indonesia, namun masih terdapat keragaman dalam pengertian dan aplikasinya. Gunawan Sumodiningrat menyatakan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah perekonomian yang rakyatnya menjadi pelaku ekonomi, merumuskan masalah, melaksanakan kegiatan dan ikut menikmati dan melestarikan hasil pembangunan. Selanjtnya ditegaskan bahwa dalam ekonomikerakyatan memang terdapat keberpihakan terhadap akyat kecil, namun bukan dengan mematikan perusahaan besar.
Sehubungan dengan hal tersebut, Faisal basri menemukakan bahwa sistem ekonomi hanya mengenal dua bentuk yakni sistem ekonomi pasar dan ekonomi perencanaan. Sehingga dengan demikian setiap sistem ekonomi yang ada harus mengacu ke salah satu sistem tersebut.
Walaupun masih terdapat perbedaan pandangan tentang ekonomi kerakyatan, namun barangkali secara substansial ekonomi kerakyatan merupakan suaut model ideal bagi angsa Indonesaia. Dalam konsep ini seluruh rakyat menjadi subjek ekonomi, rakyat menjadi pelaku dan memperoleh kesempatan yang sama serta sama-sama meikmati hasil pembangunan. Pihak yang lemah harus dibantu untuk berkembang, tidak dibiarkan begitu saja, sedangkan pihak yang besar harus tetap besar dan perperan dalam bentuk kemitraan dengan perusahan kecil.

III. Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi
Dengan adanya tuntutan untuk mengaktualkan kembali ekonomi kerakyatan, maka langkah berikutnya adalah untuk menentukan format serta aplikasinya. Barangkali ini merupakanlangkah terpenting dalam mewujdudkan suatu sistem ekonomi yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan tuntutan bangsa Indonesia. Namun dalam tahapan ini kembali timbul keraguan apakah dan kekuatiran. Salah satunya adalah pemungkinan penyalahgunaan penerapannya hanya sekedar untuk tujuan politis penguasa. Namun bila diikuti dengan yang hanya tertuju kepada kepentingan rakyat, maka diharapkan akan mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Sebagai suatu konsep, model ataupun sistem ekonomi kerakyatan tertentu membutuhkan pemikiran danperencanaan yang matang, sehingga dapat memenuhi tujuan-tujuannya. Yang pertama, konsep ini diharapkan dapa membantu bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis multi dimensi seperti sekarang ini. Yang kedua, ekonomi kerakyatan akan mempercepat terjadinya pemerataan dan keadilan ekonomi, karena konsep ini melibatkan dan tertuju kepada masyarakat luas. Yang ketiga, dalam era globalisai seperti sekarang ini dibutuhkan adanya kekompakan komponen bangsa dalam berbagai sector kehidupan sehingga dapat membanguna dan bersaing dalam skala regional ataupun internasional.
Globalisasi menuntut suatu tingkat kompetisi yang sangat ketat segingga juga dibutuhkan suatu kompetensi yang handal. Walaupun pasal global berjalan sesuai dengan konsep ekonomi pasar, namun harus disadari bahwa sistem pasar tidak hanya terbatas pada tingkat permintaan dan penawaran seperti yang digambakan oleh Adam Smith beberapa abad yang lalu. Ekonomi pasar dalam era global lebih tetap seperti yang digambarkan oleh Kenichi Ohamae sebagai: “A bordeless economy, the workings of the market invisible hand have reach a strength beyond anything that Adam Smith could have ever imagine.”
Cakupan pasar dalam era globalisasi sudah begitu komplek dan sangat terkait dengan penguasaan teknologi, informasi, serta kemampuan skill dan manajemen. Untuk itu, ekonomi kerakyatan harus dikembankan menuju kea rah keunggulan kompetitif, bukan haya sekedar mengandalkan keunggulan komparatif.
Melalui generap Agreement on Tarrif and Trade (GATT) dan World Trade Organisation (WTO) dunia sudah memasuki suatu fase ekonomi yang tidak hanya terbatas pada perdagangan melainkan berkaitan dngan pelayanan dan penanaman modal (service and investment). Di satu pihak harus dicermati walaupun hal ini ditandai dengan cirri positif yakni perdagangan dunia yang lebih bebas, transparan dan adil, namun juga harus dicermati dengan baik akses akses yang ditimbulkan oleh sistem perdagangan dunia yang baru. Salah satu dampak yang timbul adalah negara industri berusaha untuk memperluas dan memperketat kontrol mereka terhadap ekonomi dunia pada umumnya dan ekonomi negara-negara ketiga.
Karena Indonesia sudah menjadi anggota WTO, maka mau tak mau Indonesia harus menerima segala kemanfaatan dan konsekwensinya. Untuk itu perlu diambil langkah dan strategi yang tepat agar tidak tenggelam dalam globalisasi. Harus dicermati sedemikian rupa setiap langkah yang diambil sehingga Indonesia tidak hanya menjadi objek dalam ekonomi global. Penelitian membuktikan bahwa penanaman modal asing misalnya dianggap sebagai obat mujarab dalam menggerakkan pembangunan, kadangkala dapat menjadi beban berat pembangunan itu sendiri. Modal asing yang masuk telah diikuti dengan arus modal keluar yang lebih besar untuk melayani msuk modal asing tersebut.
Bersamaan dengan persoalan ekonomi terkait juga persoalan lain seperti masalah politk, penegakan hukumserta sosial dan lingkungan. Persoalan politk seperti demokratisasi dan hak asasi manusia sangat erat kaitannya dengan ekonomi, sehingga pembangunan bidang-bidang tersebut tidak dapat dikesampingkan seperti yang diterapkan oleh Orde Baru. Pembangunan berwawasan lingkungan akan dapat memberikan kesan terhadap suatu produk sehingga dapat mempengaruhi pemasaran, serta akan lebih dapat sejalan dengan kondisi masyarakat. Semua bidang tersebut harus terintegrasi dengan pengembangan ekonomi kerakyatan.
Persoalan politk seperti demokratisasi, otonomi daerah dan penegakan hak asasi manusia sangat berpengaruh terhadap kelangsungan aktivitas perekonomian. Situasi politk yang tidak sabil jelas akan mempengaruhi aktivitas produksi , distribusi barang dan jasa serta sangat berpengaruhk terhadap masuknya modal asing. Bila instabilitas berlangsung untuk waktu ang cukup lama, mustahil perekonomian suatu negara akan berkembang.
Persoaln hukum danpenegakan hukum tidak kalah penting dalam perekonmian global. Suatu negara dengan aturan hukum yang tidka jelas apalagi penegakan hukum yang tidak pasti jelas akan akan gtersisik dalam percaturan ekonomi dunia.Setiap aktivitas perekonomian membutuhkan aturan hukum dan penegakan hukum yang pasti, terprediksi dan konsisten. Langkah yang sudah ditempuh seperti dengan undang-undang Kepailitas, Perbankan, dan perlindungan consume perlu diikuti dengan perbaikan undang-undang tentang investasi dan peraturan lainnya. Namun dalam pembentukan aturan hukum hendaknya tidak dengan buta mengikuti tuntutan asing yang sangat protektif terhadap kepentingan sendiri. Aturan-aturan yang ada hendaknta tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi rakyat karena dalam kerangka GATT dan WTO tetap terbuka untuk mengeluarkan aturan yang bersifat eksepsional.
Malalag lingkunagn hidup merupakab bagian dari agenda ekonomi global. Negara-negara maju selalu mengkaitkan issu-isu lingkungan dengan produk sehingga kadang dianggap sebagai alat untuk menghadapi ekonmi berkembang. Bagi Negara Indonesia hal merupakan suatu dilemma karena di satu pihak sangat membutuhkan sumber daya alam dalam melaksanakan pembanunan sementara di pihak lain lingkungan juga membutuhkan perlindungan untuk keselamatan manusia dan pembangunan itu sendiri. Kalau lingkungan rusak, maka pembangunan itu sendiri tidak akan berarti karena dapat membahayakan kehidupan bersama. Untuk itu aspek-aspek perlindungan lingkungan hidup selalu menjadi perhatian dalam kegiatan ekonomi. Hal ini dilakukan bukan untuk memenuhi tuntutan global melainkan untuk kepentingan sendiri, sekarang dan yang akan datang.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut kiranya perlu dilakukan beberapa langkah penting. Yang pertama, peningkatan taraf pendidikan bagi seluruh rakyat. Bidnag pendidikan harus dipacu untuk mengejar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sangat tinggi keterkaotannya dengan Sumber daya Manusia. Upaya ini perlu didukung pleh peningkatan anggaran pendidikan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa anggaran sector pendidikan dalam APBN di bawah 10% jauh di bawah anggran negara lain, misalnya Malaysia yang mencapai 21%. Walaupun melalui Amendemen Ke-empat UUD 1945 anggaran pendidikan sudah mencapai 20%, namun kemauan pemerintah untuk mewujudkannya berum dapat direalisasikan, sehingga masih membutuhkan beberapa tahun lagi untuk mengejar ketingalan tersebut.
Kedua, perlu adanya keperpihakan yang jelas kepada ekonomi rendah, tentu saja bukan dalam konsep belas kasihan melainkan dalam bentuk akutabilitas atau peranggungjawaban. Dalam konteks politik kebijakan pemerintah disebut pemberdayaan, namun tidak dalam bentuk yang sekarang ini seperti bantuan langsung tunai. Program ini kurang mendidik dan tidak melahirkan mutiflier effect dalam ekonomi, karena biasanya hal itu digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Yang dibutuhkan sebnarnya adalah bantuan untuk peningkatan kemampuan dan potensi ekonomi ekonomi lebah dalam bentuka permodalan, peingkatan skill dan manajemen serta peningkatan peluang pemasaran.
Ketiga perlu adanya peningaktan research dan development terhadap teknologi tepat guna agar proses prodeksi dapat dijalankan sesuai dengan potensi yang ada . Proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan akan menambah daya saing produk serta dapat menghemat sumber daya alam. Teknologi tepat guna juga akan megurangi biaya dan ketergantungan pada teknologi asing.
Pengembangan ekonomi kerakyatan bagaimanapun harus tetap sejalan dengan ekonomi pasar. Pendekatan dengan memberikan proteksi yang berlebihan tanpa adanya akuntabilitas hanya akan melahirkan beban pada perekonomian negara. Sebaliknya pemberian fasilitas dengan pertanggngawaban yang jelas akan lebih mendidik serta menimbulkan kemampuan untuk berkembang. Dengan erciptanya kelas ekonomi menengah dan kecil yang tanggung yang berdampingan dengan usaha besar yang kokoh akan membantu terciptany pemerataan kemakmuran dan keadilan. Yang terpenting lagi kondisi ini akan memperkokoh persatuan dan kesatuan antar komponen bangsa.
Selain melakukan pemberdayaan atas usaha kecil dan menengah harus juga dipertimbangkan untuk mengembangkan sector ekonomi yang benar-benar menjamin keunggulan dibanding dengan negara lainnya. Dengan demikian harus ada pilihan penekanan kepada sector ekonomi yang benar-benar menjamin keunggulan tersebut. Salah satunya adalah sector yang melibatkan ekonomi kecil dan menengah.
Menurut Gumbiro Said pengembangan sector pertanian, agribisnis dan agroindustri akan sangat menunjang program ekonomi kerakyatan. Terdapat beberapa argumentasi bahwa sector-sektor ini sangat sejalan dengan konsep ekonomi kerakyatan. Yang pertama, merupakan harapan dalam pengadaan pangan non-impor. Kedua merupakan sector-sektor yang angkatan kerja yang besar sehingga mengurani penganguran sekaligus mengurangi potensi gangguan keamanan dan politis. Ketiga bidang ini dapat menjamin pengembangan wilayah secara merata, karena kondisi ekonomi agraris sangat mendung sector ini. Keempat pengembangan sector-sektor ini mampu mendukung pertumbuhan usaha kecil, menengah, koperasi serta usaha informal lainnya.

IV. Penutup
Krisis ekonomi yang sampai sekarang masih belum tertanggulangi dan melahirkan berbagai dampak bagi kehidupan telah memberikan pelajran bagaiman menyusun dan menyelenggarakan perekonomian negara secara baik dan benar. Pengalaman Orde Baru sudah menunjukkan bawha strategi pembangunan yang terlalu bertumpu kepada pertumbuhan telah melahirkan berbagi konsekwensi, tidak hanya di bidang ekonomi, tapi juga sosial, politik dan keamanan.
Demokrasi ekonomi yang dilandasi ekonomi kerakyatan seperti yang diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 belum dapat diwujudkan dan dijadikan dasar dalam menata dan melaksanakan pembangunan di Indonesia. Ekonomi kerakyatan yang menjadi inti dan ciri perekonomian Indonesia masih dalam bentuk slogan dan tawar menawar politik.
Ekonomi kerakyatan sebagai pilihan sistem ekonomi bagia bangsa Indonesia harus menjadi suatu sistem dalam penyelengaraan perekonomi, tidak hanya sebagai program yang parsial melainkan menyeluruh, terprogram dan terintegrasi dengan baik dengan berbagai sector lainnya. Krisi ekonomi seudah meberi dasar empiris bahwa ternyata ekonomi kerakyatan lebih tanggung untuk menghadapi gejolak perekonomian dunia. Hendaknya perlu dihindari perdebatan tentang konsep ekonomi kerakyatan melainkan lebih diarahkan pada pengembangan dan penerapan substansi, strategi serta langkah-langkah konkrit dalam mewujudkan cita-cita ekonomi kerakyatan.
Dalam suasana globalisasi pilihan ekonomi kerakyatan merupakan pilihan yang tepat untuk menghadali tantangan global nanun tetap dilaksanakan selaran sengan konsep ekonomi pasar dengan mengedepankan akuntabilitas, persamaan, transparansi dan keadilan. Pembangunan ekonomi yang lebih berpihak kepada ekonomi kecil dan menengah tetap harus terkait dengan pembanguna sector lainnya seperti politik, hukum, sosail dan budaya. Tanpa keterkaitan tersebut sulit diharapkan Indonesia akan survive dalam persaingan global. Kembali kepada cita-cita ekonomi kerakyatan merupakan pilihan untuk betap exis dalam era globalisasi sekarang ini.


Daftar Pustaka
Arief, Sritua. Sasoni, Adi. Beban Utang Luar Negeri dan Ekonomi . UI Press, jakata, 1997
Dahl, Robert A. Demokrasi ekonomi Sebuah Pengantar, Terjemahan A Setiawan Abdi, Yayasan Obor, Jakarta, 1995
Khor Kok Peng, Martin, Imperialisme Ekonomi Baru, Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1995
Gie, Kwik Kian. Praktek Bisnis dan Orientasi Ekonomi Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1996
Majid, Abdul dan Swasono, Sri edi, Wawasan Ekonomi Pancasila, UI Press, Jakarta, 1987
Ohamae, Kenichi. The end of the Nation State, The Free Press, New York, 1995
Redwood, Jhon. Kapitalisme Rakyat, Terjemahan: Zoelkifli Kasip, Grafitti Press, 1990
Schumpeter, E.F. Kecil Itu Indah, Terjemahan S Soepomo, LP3ES Jakarta 1980
Sjahris, Analisi Ekonomi Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1991
Suroso, PC. Perekonoman Indonesia,Buku Pedoman Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1996
Susemo, HG. Ekonomi Indonesia, Peluang dan Tantangan dalam era Liberalisasi, Kanisius, Yograkarta, 1997

Minggu, 03 Oktober 2010

Minggu, 27 Juni 2010

MEDIASI PERBANKAN DITINJAU DARI HUKUM PIDANA* Oleh: Yoserwan**

I. Pendahuluan
Aktivitas usaha perbankan merupakan salah satu usaha yang paling dinamis dan merupakan penggerak terpenting bagi roda aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Sebagai sebuah lembaga keuangan, bank dalam aktivitasnya menjalankan berbagai fungsi. Fungsi utama bank adalah penerima dan penyalur kredit dari dan untuk masyrakat. Di samping itu, bank juga melakukan pemberian jasa-jasa keuangan yang semakin luas seperti pelayanan dalam mekanisme pembayaran (transfer of fund), pembiayaan perdagangan luar negeri, penyimpanan barang berharga dan trust services lainnya.
Dalam pelaksanaannya, aktivitas perbankan seringkali menimbulkan persoalan hukum antara bank dengan nasabahnya baiknya yang akhirnya bermuara pada sengketa keperdataan ataupun menimbulkan kasus-kasus pidana. Tidak jarang sengketa ataupun kasus-kasus tersebut bermuara pada penyelesaian melalui pengadilan. Semuanya itu tentu membutuhkan penyelesaian yang efektif dan efisien baik untuk kepentingan bank, nasabah ataupun dunia usaha pada umumnya.
Untuk mendukung upaya penyelesaian sengketa-sengketa perbankan dalam kerangka mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan stabilitas sistem keuangan untuk mendorong pembangunan nasional, Bank Indonesia membentuk Lembaga Mediasi Perbankan yang Independen. Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006 tanggal 31 Januari 2006, tentang Mediasi Perbankan, mediasi perbankan yang untuk sementara dilaksanakan Bank Indonesia terbatas pada sengketa antara bank dengan nasabah kecil dan Usaha Mikro Kecil (UMK) dengan batas klaim maksimal sebesar Rp.500.000.000,-. Pembatasan ruang lingkup mediasi perbankan tersebut didasari oleh pertimbangan bahwa nasabah yang termasuk dalam kategori UMK memiliki keterbatasan dan hambatan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum dan atau menempuh jalur penyelesaian segketa alternatif.
Upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut tentu saja akan sangat mendukung dinia perbankan sepanjang hal itu dilakukan dengan dasar hukum yang kuat dan prosedur yang benar. Pilihan mediasi juga harus dengan kesepakatan kedua pihak dan dengan itikad baik. Disamping itu, alternatif penyelesaian sengketa sudah mempunyai landasan hukum semenjak disahkannya Undang-Undang No.19 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kalau Bank Indonesia kemudian membentuk Lembaga Mediasi Perbankan yang idependen sebagai wadah untuk menyelesaikan sengketa Perbankan antara bank dengan nasabah tang tergolong UMK tentu saja hal itu merupakan kekhususan (lex spesialis) yang berlaku bagi usaha perbankan.
Permasalahan yang mungkin timbul adalah kalau sengketa yang timbul antara bank dengan nasabah tersebut mempunyai aspek pidana, sehingga akan menimbulkan pertanyaan bagaimana konsekwensinya terhadap mediasi yang dilakukan. Mengingat persoalan yang terkait dengan perkara perbankan yang berikdikasi pidana pada dasarnya tidak melahirkan persoalan yang begitu kompleks, maka tulisan ini juga mencoba mengkaji aspek yang lebih luas yakni kemungkinan penyelesaian kasus tindak pidana perbankan melalui penyelesaian di luar pengadilan khususnya melalui mediasi. Tulisan ini pada dasarnya hanya merupakan pemikiran awal bagi pembentukan lembaga mediasi seperti yang dimaksudkan serta dalam konteks yang lebih luas yakni dalam perkara pidana perbankan.

II. Karakteristik Usaha Perbankan dan Mediasi Perbankan
Sebagai sebagai lembaga keuangan, maka bidang usaha perbankan ditandai dengan tingginya unsur kepercayaan (trust) antara lembaga perbankan dengan nasabahnya. Tanpa adanya unsur kepercayaan mustahil bank bisa menghimpun dana dari masyarakat atau sebaliknya sebagai penyalur dana kepada masyarakat. Untuk mendukung prinsip kepercayaan tersebut biasanya hukum “mempersenjatai” bank dengan rahasia perbankan “bank secrecy”, sehingga pelanggaran terhadap prinsip kerahasiaan bank diproteksi dengan sanksi pidana.
Urgennya usaha perbankan dalam perekonomian suatu bangsa juga telah melahirkan perlindungan hukum yang sangat maksimal terhadap usahan perbankan. Perlindungan itu terlihat dalam aturan yang sangat ketat untuk menerobos rahasia bank dalam hal adanya dugaaan tindak pidana dalam dunia perbankan, yakni keharusan adanya izin dari Bank Indonesia untuk membuka rekening seorang nasabah.
Secara tradisional, bila bicara perbankan maka akan lebih banyak berkaitan dengan hukum keperdataan, karena lebih menyangkut hubungan antara bank dengan nasabah dalam bidang keperdataan. Namun dalam perkembangannya bidang perbankan semakin memperlihatkan corak publiknya sehingga juga terkait dengan hukum administrasi negara. Bahkan corak publik tersebut tidak hanya tercermin dalam keterkaitan dengan hukum administrasi negara saja, melainkan juga diperkuat dengan hukum pidana.
Mengingat bidang perbankan lebih banyak terkait dengan hukum perdata, maka penyelesaian senketa yang timbul darinya juga membutuhkan penyelesaian keperdataan, khususnya melalui pengadilan. Dengan berkembangnya alternatif penyelesaian sengketa (khususnya keperdataan) di luar pengadilan maka, dengan sendirinya perkembangan tersebut juga akan membawa akibat bagi penyelesaian kasus perbankan melalui jalur luar pengadilan.
Perkembangan penyelesaian sengketa secara alternatif dalam perkara perdata khususnya yang berkaitan dengan aktivitas perekenomian, sejalan dengan tuntutan dunia usaha atau bisnis, karena aktivitas bisnis membutuhkan upaya penyelesaian yang cepat, efektif dan efisien. Dengan demikian penyelesaian melalui mekanisme mediasi sangat sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan usaha perbankan. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, maka kebutuhan tersebut sudah dapat dipenuhi. Walaupun demikian Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas perbankan menilai bahwa sengketa yang timbul antara bank dengan nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil sulit dipenuhi karena berbagai berbagai keterbatasan. Untuk membantu penyelesaian itu Bank Indonesia mengamanatkan terbentuknya lembaga mediasi independen yang dibetuk oleh asosiasi perbankan.
Keinginan Bank Indonesia untuk membentuk lembaga mediasi independen tersebut tentu saja sangat membantu dunia usaha dan perbankan pada khususnya. Namun tentu saja masih perlu dipertanyakan beberapa persoalan yang urgen terkait dengan keinginan tersebut. Misalnya, bagaimana sifat penyelesaian melalui lembaga ini, apakah merupakan keharusan bagi bank atau tetap merupakan pilihan. Kalau merupakan keharusan bagi bank, maka tentu hal itu akan bertentangan dengan prinsip mediasi itu sendiri. Tepi kalau tidak tidak merupakan keharusan, bagaimana kalau bank sebagai pihak yang punya posisi lebih kuat tidak mau membuat kesepakatan untuk menyelesaian melalui mediasi ini. Kalau keadaan demikian terjadi tentu saja lembaga ini tidak akan berarti banyak. Apa dasar pertimbangan bahwa sengketa yang bisa di bawa ke lembaga mediasi ini hanyalah tuntutan finansial paling banyak Rp.500.000.000,-? Selanjutnya bagaimana kalau sengketa tersebut mempunyai dimensi pidana atau terkait dengan pelanggaran norma hukum pidana.

III. Tindak Pidana di Bidang Perbankan dan Pertanggungjawaban Pidana
Sebelum membahas kemungkinan penyelesaian sengketa perbankan yang mempunyai aspek pidana melalui mediasi, kiranya perlu ditinjau terlebih dahulu karaktrisitik tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang perbankan dan pertanggungjawaban pidana.
Dalam literatur hukum pidana sering dibedakan antara Tindak Pidana di Bidang Perbankan dengan Tindak Pidana Perbankan. Tindak Pidana di Bidang Perbankan diartikan sebagai tindakan yang melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Jadi bank sebagai korban, ataupun bank sebagai pelaku, sehingga bisa diancam baik dengan KUHP ataupun dengan undang-undang tentang perbankan. Tindak Pidana Perbankan diartikan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang perbankan, yakni UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Sementara itu terdapat pendapat lain yang mengartikan Tindak Pidana Perbankan untuk menampung pengertian tindak pidana yang semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank. Sedangkan Tindak Pidana di Bidang Perbankan mengandung pengertian yang lebih netral dan luas karena mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan orang dalam dalam bank atau keduanya. Di samping kedua klasifikasi juridis tersebut terdapat klasifikasi yang sifatnya lebih populer yakni tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana kejahatan (crime through the bank) dan tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sasaran (crimes against the bank).
Dari konsep-konsep yang dikemukakan tersebut sebenarnya dapat dikemukakan klasifikasi yang lebih mudah dipahami, yakni tindak pidana yang melanggar undang-undang perbankan. Dalam klasifikasi ini dapat dikemukakan tindak pidan yang melanggar undang-undang Perbankan yakni:
a. tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan;
b. tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank;
c. tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pebinaan bank;
d. tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
Sebaliknya tindak pidana yang tergolong ke dalam Tindak Pidana di Bidang Perbankan, dapat melanggar Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP), undang-undang tentang lalu-lintas, tentang pencucian uang, dan mungkin tindak pidana korupsi. Dalam pembahasan ini Tindak Pidana di Bidang Perbankan mencakup semua tindak Pidana yang terkait dengan Perbankan.
Bila dilihat dari karakter yang lebih umum, sebagian sarjana menggolongkan tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana di bidang ekonomi yang juga mempunyai karakter sendiri. Menurut Mulder, hukum pidana ekonomi mempunyai ciri yakni:
a. Cepat berubah sesuai dengan kebutuhan dan keadaan;
b. Peraturan disusun dengan elastis dan tidak dapat ditempatkan di
bawah stricta interpretation;
c. Pelaksanaanya tergantung kepada pasar;
d. Sanksi dapat diperhitungkan oleh mereka yang bersangkutan.
Ciri umum dari tindak pidana atau hukum ekonomi termasuk di bidang perbankan kiranya akan lebih memperluas pemahaman tindak pidana dari konsep tradisonal yang melahirkan hak negara untuk melakukan tuntutan terhadap pelanggaran norma hukum pidana. Hal ini tentu juga akan memperluas pemahaman tindak pidana perbankan di kaitkan dengan berbagai kemungkinan penyelesaian suatu perkara pidana termasuk melalui mediasi.
Pertanggungjawaban Pidana
Dalam hukum pidana pada dasarnya setiap tindak pidana akan melahirkan pertanggungjawaban pidana (criminal liability), kecuali terdapat hal-hal atau keadaan yang menghilangkan atau menghapuskan pertanggungjawaban pidana tersebut. Sesuai dengan prinsip legalitas dalam hukum acara pidana, maka setiap kali terjadinya pelanggaran terhadap norma hukum pidana (ius Poenale) akan melahirkan hak negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan menurut hukum (ius puniendi). Terjadinya pelanggaran terhadap norma hukum pidana akan mengakibatkan bekerjanya aparatur hukum pidana dalam suatu proses hukum pidana sampai terdapatnya suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht) serta terlaksananya putusan tersebut. Dalam hukum pidana terdapat beberapa kemungkinan tidak bekerjanya (secara penuh) sistem peradilan pidana dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap norma hukum pidana. Beberapa kemungkinan itu adalah:
Pertama, bila mana tindak pidana yang terjadi tergolong kedalam delik aduan (klacht delict). Dalam keadaan seperti ini, pada umumya sistem peradilan pidana baru bekerja kalau adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Kedua, dalam hal terjadinya schikking atau pembayaran denda dalam tindak pidana yang sifatnya sangat ringan, yakni pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda sehingga prosesnya dapat dihentikan dalam taraf penyidikan.
Ketiga, Pengenyampingan perkara demi kepentingan umum atau (deponeering) yang merupakan wewenang Jaksa Agung sebagaimana tertuang diatur dalam Pasal 35 butir c Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Namun dalam realitanya mekanisme ini belum pernah dilaksanakan.
Keempat, pelaksanan diskresi kepolisian yang biasanya hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang ringan dan pelaksanaanya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dari urain di atas terlihat seakan-akan tidak terdapat ruang bagi pelaksanaan mediasi dalam perkara pidana ataupun perkara perdata (perbankan) yang mempunyai aspek pidana. Dengan semakin meningkatnya sorotan terhadap tindak pidana di bidang perbankan, semakin kuat pula tuntutan terhadap pengusutannya. Apalagi kalau kasus tersebut bernuansa korupsi. Meningkatnya keprihatinan terhadap tindak pidana perbankan disebabkan meningkatnya kasus perbankan dan nilai kerugian yang ditimbulkannya. Hal ini tentu tidak mendukung upaya penyelesaian kasus perbankan secra mediasi.

IV. Mediasi Perbankan dalam Perspektif Hukum Pidana
Walaupun doktrin hukum pidana menghendaki pertanggungjawaban pidana terhadap setiap pelaku tindak pidana, bukan berarti bahwa tidak terdapat ruang sama sekali untuk menyelesaikan kasus pidana di luar pengadilan yang menjadi salah satu dasar dari mediasi perbankan. Secara teoritis dan praktis terdapat argumentasi yang memungkinan penyelesaian kasus pidana atau lebih khusus lagi sengketa perbankan yang terkait dengan aspek pidana.
Pertama, Sanksi Pidana Sebagai ultimum remedium.
Didandingkan dengan sanksi-sanksi lainya seperti perdata dan administrasi, pidana dipandang sebagai upaya yang terakhir atau ultimum remedium. Menurut Soedarto konsekwensi dari sifat atau ciri ini, maka bilamana sarana hukum lainnya seperti pedata dan administrasi bisa atau lebih baik digunakan, maka hukum atau sanksi pidan tidak perlu digunakan. Atau dengan kata lain bila tidak perlu sekali jangan menggunakan pidana sebagai sarana. Sedangkan Rummellink mengemukakan bahwa Hukum Pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan memiliki fungsi pelajaran dan fungsi sosial. Pemahaman ini tentu membuka ruang gerak bagi penggunaan medisi perbankan kalau mekanisme ini lebih baik digunakan. Apalagi mengingat sengketa perbakan yang mempunyai aspek pidana atau tindak pidana perbankan itu sendiri tergolong ke dalam Tindak Pidana Di Biang Ekonomi yang membutkan penyelesian yang cepat, efektif an efisien. Namun semua itu tentu harus dalam kerangka hukum yakni hukum yang bersifat khusus atau (bijzondere strafrecht).
Dalam perkembangan hukum pidana terutama sekali dalan tindak pidana khusus terlihat bahwa sanksi pidana merupakan sebagai ultimum remidium. Dalam beberapa tindak pidana khusus Tindak Pidana Perpajakan, Pasar Modal, dan Tindak Pidana Perbankan dimungkinkan upaya penyelesaian melalui hukum administrasi terhadap pelanggaran undang-undang yang bersangkutan. Mekanisme sanksi administratif ini mengisyaratkan pelaksanaan prinsip ultimum remedium. Dalam undang-undang perbankan misalnya, Bank Indonesia dapat memberikan sanksi administatif. Walaupun demikian dalam undang-undang juga ditegaskan pelaksanaan sanksi administratif tidak mengurangi penerapan hukum pidana. Pengaturan seperti ini secara teoritis dapat dipertanyakan, karena pengaturan itu tidak sesuai dengan konsep ultimum remedium itu sendiri. Disamping tidak efisien, tentu akan menimbulkan pertanyaan efektivitas sanksi administratif dan pidana yang diberikan.
Di samping itu, dalam praktik sebenarnya penyelesaian kasus keperdataan yang berindikasi pidana sudah sering menggunakan penyelesian kasus pidana di luar pengadilan. Dalam penangan kasus BLBI misalnya pemerintah berupaya menyelesaian masalah tersebut terlebih dahulu melalui jalur luar pengadilan. Dari aspek dunia usaha kasus-kasus perbankan, yang bisa digolongkan sebagai “white collar crime”, akan lebih menguntungkan kalau diselesuaikan di luar mekanisme SPP seperti yang dikemukakan oleh Russel L. Blintiff:
“Since civil action is simplier and easier than criminal trial, it often supplies the best remedy for recovering property, money or taking other punitive actions in the white collar crime case. …Often the company benefits by using civil court instead of criminal court remedies in dealing with action involving white collar crime.”

Hal yang senada juga dikemukakan oleh Marshal B. Clinard dan Peter C. Yeager, bahwa dalam kejahatan korporasi (corporate crime) penerapan sanksi pidana sangat jarang dikenakan:
“The use of criminal sanction against corporate executive remains limited. In sipte of the harm that their sanctions engender, corporate offenders simply are not viewed in the same manner as are ordinary offenders. For the most part, when reference is made to the regulation of corporate behaviour by measure directed at key corporate personnel, it must be relized that such actions are in all probability going to betaken, if at all, only in the most blatant cases.”

Kedua, model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sudah dikenal dalam hukum pidana baik yang diatur dalam Pasal 82 KUHP ataupun perundang-undangan di luar diluar KUHP, baik itu melalui mekanisme sanksi administratif ataupun penyelesaian perkara secara cepat atau “schikking” oleh penyidik dengan dibayarnya maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai.
Ketiga, secara sosiologis, sebenarnya konsep mediasi sudah dilaksanakan dalam hukum adat termasuk terhadap delik-delik adat. Dalam Rancangan KUHP baru, dengan diakomodasinya sanksi adat, maka penyelesaian kasus pidana secara alternative seperti melalui mediasi tentu akan mempunyai landasan sosiologis yang kuat. Namun ruang lingkup dan pelaksanaannya tentu hanya terbatas pada delik-delik adat.
Keempat, dalam kajian kriminologis sebenarnya sudah diperkenalkan konsep “assensus model” dalam penyelesaian perkara pidana yang menginginkan penyelesaian perkara pidana melalui proses peradilan perdata. Dengan demikian prosesnya dan penyelesaian kasusnya tergantung pada kemauan dan keinginan para pihak, tidak pada kekuasaan negara melalui aparat penegak hukumnnya. Namun mengingat konsep ini masih memilih model jalur peradilan, tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang timbul dalam sebuah sistem peradilan. Di samping itu, konsep assensus model timbul dari ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan pidana yang dianggap hanya sebagai konsensus atau kesepakatan dari sekelompok elit dalam masyarakat.
Kelima, perkembangan secara internasional menunjukkan bahwa penyelesaian kasus pidana melalui jalur mediasi sudah semakin diterima. Hal itu terbukti semakin banyaknya negara yang termasuk dalam Uni Eropa mengunakan penyelsaian seperti ini:
“Mediation in criminal case expands throughout Europe, although most citizens remain unknown means of solving such a problem. Most of European Union member states carry out mediation in criminal case, but procedure and practice vary greatly between countries.”

Di Belgia misalnya penyelesaian kasus pidana secara alternative telah masuk ke dalam sistem hukum dengan Law of 22 June 2005. Undang-undang yang baru membuka kesempatan bagi korban dan pelaku untuk menyelesaiakan kasusnya secara mediasi.
Di Amerika Serikat penggunaan mediasi dalam penyelesaian kasus pidana sudah dilaksanakan tahun 1974. Di negara Bagian Ohio misalnya lembaga mediasi yang disebut dengan The Private Complaint Mediation Services (PCMS) menyediakan sarana alternative mediasi dalam menangani kasus pidana terutama terhadap tindak pidana yang tegolong ringan (misdemeanor) bagi warga. Hal ini dipraktekan oleh Hamilton County Court System).
Berkembangnya model penyelesaian kasus pidana di luar sistem peradilan pidana di Amerika sejalan dengan berkembangnya kajian-kajian ekonomi terhadap hukum (economic analysis of the law). Kajian ini mencoba mempertanyakan konsep hukum yang selama ini hanya didasari oleh pandangan doktrin hukum yang tradisional (traditional legal doctrinal concept) yang cendrung melihat hukum terpisah dari aspek kehidupan lain seperti ekonomi. Kajian-kajian ini mulai mempertanyakan efektifitas dan efisiensi hukum. Ilmu ekonomi dipandang mempunyai teori ilmiah yang baik untuk mengkaji dan memprediksi manfaat atau dampat suatu aturan hukum terutama sekali pengaruh sanksi terhadap perilaku. Khusus untuk hukum pidana kajian-kajian dari ilmu ekonomi misalnya berkaitan dengan aspek ekonomi dari kejahatan atau tindak pidana dan pemidanaan.
Di Indonesia pemikiran untuk menyelesaikan kesus pidana melalui mediasi sebenarnya sudah lama muncul. Dasar pemikiran pertama adalah seperti dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan bahwa secara sosiologis dan historis bangsa Indonesia sudah menerapkan model ini. Di samping itu, dengan beratnya beban peradilan akan mengakibatkan lahirnya permasalahan seperti biaya, sarana dan prasarana untuk menjalankan sistem peradilan.
Terdapatnya landasan teoritis, praktis dan sosiologis bagi penyelesaian perkara pidana melalui mediasi, maka pediasi perkara perbankan yang mempunyai aspek pidana sebanarnya bukanlah persoalan pelik. Permasalahan pertama adalah apakah penyelesaian perkara perdata perbankan bisa bersamaan dengan kasus pidananya?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali kepada prinsip umum bawah putusan pidana akan benjadi alat bukti dalam perkara perdata. Untuk itu tidak ada persoalan kalau perkara pidananya diselesaikan terlebih dahulu. Namun dalam kasus-kasus seperti ini bisanya bank akan sangat resisten sehinga kasus perkaranya sulit ditangani. Pertanyaannya tentu adalah apakan bank punya kemauan untuk menyelesaikanya. Untuk memperlancar pemeriksaan perkara pidana diperlukan kebijakan Bank Indonesia untuk memperlonggar penorobosan rahasia bank karena kesulitan pemeriksaan perkara pidana terletak di sana.
Walaupun demikian, masih terdapat persoalan lain yakni lamanya proses peradilan yang harus dilewati sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dapat dijadikan alat bukti dalam perkara perdata atau alasan nasbah mengkalaim dananya atau sisa dananya masih tersisa. Untuk mengatasi persoalan seperti ini sebenarnya diambul kebijakan (regulasi) yang memungkinkan bank untuk memblikir, rekening nasabah yang diduga terlibat dalam penipuan atu kalau perlu langsung mendebit dari rekening sesuai dengan jumlah yang titerima sebelumnya. Sesuai dengan prinsip “Know Your Customer” seharusnya bank sudah mengenali pelaku penipuan tersebut. Di samping itu pihak bank dan Bank Indonesia harus mengambil tindakan atas nasabahnya yang sudah melakutan tindak pidana melalui banknya.
Kedua, dengan adanya putusan pengadilan pidana yang menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana (misanya menipuan), maka seharusnya bank (diperkuat dengan perintah pengadilan) harus mengembalikan sisa dananya kepada nasabah yang dirugikan. Namun seperti dikemukan di atas, karena mekanisme ini butuh waktu seharusnya ada kebijakan atau regulasi agar bank (misalnya melalui mediasi) diberi kewenangan untuk mengembalikan dana atau sisa dana kepada nasabah yang dirugikan. Namun persoalan biasanya terletak pada kukuhnya bank mempertahankan prinsi “kepercayaan” walapun terhadap seorang yang sebenanrya tidak pantas dipercaya.

V. Kerangka Mediasi Pidana Perbankan
Dengan dimungkinkannya mediasi pidana perbankan yang memiliki aspek pidana baik dari landasan teoritis dan praktis, diperlukan pemikiran panjang dan mendalam untuk mengintrodusirnya dalam sistem hukum Indonesia. Untuk itu perlu dibahas terlebih dahulu persoalan urgen yang akan sangat menentukan nantinya dalam perwujudan mediasi dalam perkara pidana pada umumnya.
Persoalan pertama adalah apakah mediasi itu dilaksanakan dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau terpisah dari SPP. Untuk menjawab persoalan ini tentu harus dilihat kedudukan perkembangan penanganan kasusnya. Kalau kasus tersebut belum masuk dalam kerangka sistem peradilan pidana tentu akan lebih mudah menempatkannya terpisah dari sistem peradilan pidana. Sedangkan kalau kasus tersebut sudah masuk dalam kerangka sistem peradilan pidana, maka mau tidak mau penyelesaiannya harus tetap dalam kerangka SPP atau terkait dengan SPP. Dengan demikian pilihan model ini akan melibatkan sub-sistem atau komponen yang ada dalam SPP. Alternatif lain yang bisa ditempuh adalah tetap menempatkannya dalam kerangka SPP. Di negara bagian Ohio, seperti sudah disinggung di atas proses mediasi kasus pidana dilaksanakan dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana, yakni oleh Hamilton County Court System walaupun mediasinya dilaksanakan murni oleh swasta yakni oleh The Private Complaint Mediation Services (PCMS). Sedangkan di Finlandia, inisiatif untuk menempuh jalur mediasi dapat diajukan oleh polisi dan kejaksaan. Jadi masih terkait dengan SPP.
Kedua, harus ada identifikasi jenis tindak pidana yang bisa diajukan ke jalur mediasi. Kriteria umum untuk menentukan suatu perbuatan termasuk tindak pidana tercermin dalam adagium “acutus reus non facit reums nisi mens sit rea”, yakni unsur actus reus dan mens rea. Dengan demikian unrur mens rea merupakan unsur yang sangat penting, sehingga untuk tindak pidana yang tidak dengan jelas ada mens rea, potensial untuk menjadi objek mediasi perkara pidana. Di samping itu tindak pidana yang benar-benar jahat atau “mala in se” (recht delicten) sulit menjadi objek mediasi, sedangkan tindak pidana yang tergolong mala prohibita (wet delicten) potensial diselesaikan melalui mediasi. Untuk kasus yang hanya melibatkan bank dengan nasabah, dapat diselesaikan dalam jalur mediasi di luar SPP, sedangkan yang melibatkan pihak ketika tentu harus melibatkan komponen yang ada dalam SPP. Secara umum yang dapat diterima untuk diselesaiakan adalah tindak pidana yang tergolong ringan seperti pelanggaran ringan. Berikutnya adalah tinak pidana tergolong terjadi karena kelaian (culpa) ataupun tindakan yang terjadi karena kesalaran (error/dwangling) baik mengenai fakta (error in facti) atau mungkin mengenai hukumnya (error in juris). Kemungkinan ketiga adalah , tidak ada korban yang terkena langsung (victimless Crimes) dan tindak pidana yang dilakukan secara kebetulan (occasional crime). Sedangkan untuk tindak pidana yang merugikan negara, masih terbuka kemungkinan alternatif melalui mediasi, tentu saja dengan melibatkan aparatur negara sebagai salah satu pihak. Tentu saja tindak pidana yang sangat berat, atau dilakukan oleh seorang residiv atau sudah menjadi profesi tidak bisa menjadi objek penyelesaian secara mediasi.
Ketiga, institusi mediasi harus jelas apakah murni terlepas dari pemerintah atau berada dalam kerangka SPP, atau sebuah institusi yang memperoleh kewenangan dari pemerintah. Sesuai dengan sifat penyelesaian melalui mediasi yang didasari oleh itikad baik dan kesepakatan para pihak tentu saja diharapkan institusinya haruslan yang bersifat independent untuk menghindari adanya intervensi terutama dari keuasaan umum.
Keempat, harus dibuat mekanisme dan prosedul penyelesaian secara baik dan benar sesuai dengan standar-standar umum. Di Swis misalnya institusi medisi wajib menolak suatu kasus kalau terdapat indikasi bahwa mediasi diajukan karena tekanan salah satu pihak atau tekanan dari pihak lainnya.
Terakhir harus ada kepastian tentang kedudukan keputusan yang dicapai melalui mediasi. Seperti halnya dalam kasus perdata murni putusan mediasi bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dieksekusi melalui kekuasaan umum. Dalam hal perkara pidana atau perkara perdata yang terkait dengan kasus pidana, keputusan melalui mediasi juga harus mempunyai kekuatan hukum tetap.

VI. Penutup
Mediasi untuk menyelesaikan sengketa perbankan, khususnya antara bank dengan nasabah kecil dan Usaha Mikro Kecil merupakan suatu terobsan untuk menyelesaikan sengketa perbankan secara efektif dan efisien. Mediasi sengketa perbankan yang berindikasi tindak pidana, sebenarnya saling melengkapi dalam penyelesian sengketa atau perkara pidana perbankan yang terjadi. Karena sengketa pidana cukup memakan waktu, diharapkan adanya kebijakan atau regulasi bahwa kepentingan nasabah yang dirugikan oleh suatu tindak pidana harus dilindungi, walaupun perkara pidananya belum diputus.
Mengingat penyelesaian perkara perbankan membutuhkan penanganan yang efektif dan efisien, maka perlu dipertimbangankan untuk mencari alternatif penyelesaian di luar SPP terhadap tindak pidana di bidang perbankan. Terdapat landasan teoritis, praktis dan sosilogis yang kuat untuk mencari alternatif penyelesaian tindak pidana perbankan melalui jalur mediasi, baik di dalam kerangka SPP ataupun sama sekali di luar SPP.
Perlu kajian mendalam tentang tindak pidana mana saja yang bisa menjadi objek penyelesaian melalui mediasi perbankan serta intitusi yang melaksanakan mediasi dalam tindak pidana di bidang perbankan sehingga, hasilnya akan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha perbankan dan sebaliknya tidak menjadi faktor kriminogen bagi tindak pidana di bidang perbankan.






















Daftar Pustaka

A. Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi (Edisi Revisi Selaras Selaras Inpres No.4 Tahun 1985), Erlangga, Jakarta, 1991
Jan Rummellink, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal KUHP Belanda dan Padannanya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat Palayanan Keadilan dan Pengabdian Masyarakat, Jakarta, 1994
Marshal B. Cliard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1983
Marshal B. Clinard dan Richard Quinney dalam bukunya: Criminal Behaviour System, A Typology, Second Edition, Anderson Publishing Co, Cincinnati, 1986
Marwan Effendy, Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum, bahan Diskusi Terbatas Tindak Pidana Perbankan dalam Kerangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama BI dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Bukittinggi, 29-30 November 2006
Muhamad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Nicholas Mercuro, dan Steven G. Medema, Economics and the Law, From Posner to Post-Modernism, Princeton University Press, Princeton, 1997.
Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, International Edition, Pears Addison Wesley, Boston, 2003
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana, Jakarta, 2003
Russell L. Bintliff, Complete Maual of White Collar Crime, Detection and Prevention, Prentice Hall, New Jersey, 1993
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977
Sumantoro, Aspek-Aspek Pidana di Bidang Ekonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
Thomas Suyatno, et al, Kelembagaan Perbankan, Edisi Kedua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993
Russell L. Bintliff, Complete Maual of White Collar Crime, Detection and Prevention, Prentice Hall, New Jersey, 1993, hlm.12
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995
Zulkarnain Sitompul, Tindak Pidana Bidang Perbankan, dalam Jurnal Hukum dan Kriminologi Delicti, Vol.I/Juli/2003

http://www.tempointeraktif/com.ing/ekbis
http://www.eu2006ft/new_and_document
Restorative Justice Online. http://restorativejustice.org/
http://www.hamilton.co.org.
http://riaupos-com/baru/content/view/1425/
http://www.hamilton.co.org

Kamis, 24 Juni 2010

THE ENFORCEMENT OF JUDGMENT AGAINST DEFENDANT LIVING OUTSIDE THE UNITED SATETS UNDER ALIENT TORT CLAIM ACT (ATCA) By: Yoserwan

I. Introduction
The United is often look upon in the world as a last resort for fighting injustices and wrong committed by brutal, dictatorial regimes. The use of the Alien Tort Claim Act (ATCA) and the Torture Victim Protection Act (TVPA) by foreign victims provides a voice of victims of human rights atrocities and a forum to hear their claims. The litigation under those two statues has proven to be an important tool in the struggle to protect human rights. The impact of the cases decided under ATCA and TVPA on both the individual plaintiffs and the human rights movement in their home countries and elsewhere should not be underestimated.
However, none of the judgments has been paid, yet some may still be collected. It is may be true that the plaintiff in those cases are concerned about much more than money, and they take tremendous personal satisfaction from filling a lawsuit and winning a judgment. Since any judgment can not be enforced properly, the statues that have been enacted and the judgments have been granted will not appropriately reach their objectives, and all efforts spend in litigation will be useless. Besides, international law increasingly recognizes that international rights are limited significance if they can not be enforced. Therefore, it is time to find possible mechanisms in order to enforce any judgment under the ATCA against defendant living outside the United States.
The enforcement of a judgment under the ATCA against defendant living outside the United States needs international agreements that makes it possible to enforces a judgment against violation human rights under a tort claim. If there is not any international agreement on enforcing a foreign judgment under a national court it will be difficult to achieve the objectives of the ATCA and the TVPA and, consequently the human rights are still lack of protection.
This paper discusses the obstacles in enforcing a judgment against defendant living outside the United States under the ATCA and observes what efforts could be pursued in order to find mechanisms to enforce a judgment. Following this introductory remark, part II will provide the history of the ATCA and the TVPA, the development and the application of the ATCA, and international human rights and their relation to the ATCA. Part III will discuss the United States court judgments under the ATCA, obstacles in enforcing a judgment under the ATCA and possible mechanisms to enforce the judgment. Part IV will provide the conclusion, recommendations for improvement of the ATCA and international agreement on human rights protection.

II. Human Rights protection under the ATCA and International Agreements on Human Rights
In 1789, the framers of the First Judiciary Act granted to the newly federal district court original jurisdiction over civil action where an alien sues for a tort only in violation of the law of nations or a treaty of the United States. This jurisdictional grant, codified to day at 28 U.S.C § 350 and known as the Alien Tort Statue or the Alien Tort Claims Act, supported jurisdiction, in fact, only twice in nearly 200 years. That statue receives that law of nations is part of the law of the United States. Not only could the law of nations be violated by individuals but it could evidently be sued and enforced by individuals.
In Filartiga v. Pena-Irala, The court found that customary international law grants all individuals certain fundamental human rights, including the rights to be free from official torture. Since then federal courts have adopted this broad reading of the ATCA and foreign nationals have successfully adjudicated claims against human rights violator. Later decision has permitted the ATCA suits for summary execution, disappearance, prolonged arbitrary detention, and cruel, in human or degrading treatment.
Filartiga prompted Congress to pass TVPA in 1991 in order to mitigate the effects of torture on its victims. Unlike the ATCA, TPVA provides an express ten-year statue of limitations. This period selected because it insures that the Federal Courts will not have to hear stale claims. The United States Senate reported on TVPA cited examples of situations where equitable tolling should be applied to TVPA claims.
Even though some differences between two statues, the legislative history makes clear that TPVA was designed to strengthen and expand the ATCA, lessening the danger that the judiciary might reject the Filartiga court’s interpretation of the ATCA and extending coverage to claims by the United States citizens. Litigation under the ATCA and TPVA has aimed to hold accountable people who had previously been able to escape responsibility for their gross human rights violations because of the weakness of other enforcement mechanisms.
The ATCA is one of the most widely discussed provisions in modern international law. Since the Second Circuit landmark decision in Filartiga v. Pena -Irala, federal courts have developed a sophisticated jurisprudence for international human rights cases brought under the statue. However, the scope of claims available under the ATCA has recently been challenged by a series of decisions that has limited to the pleading of a restrictive category of Customary International Law known as jus cogens.
Human rights refer to a broad range of rights and freedoms to which every person is entitled. Based on standard widely accepted in the international community, these rights are inalienable, inhering in each individual by reason of humanity. The violation of these rights is presumed to have an impact on the world community in general and therefore, a cause of international concern. The Charter of the United Nations expressly promotes respect for human rights and fundamental freedoms. The Charter as a treaty is binding upon the member states. Some government and commentators take the position that the Charter’s provision regarding human rights are to vague to be legally binding. Others, however, relay upon the enumeration of specific human rights in subsequent international instrument, such as the Universal Declaration of Human Rights. It is generally recognized as defining international standards of human rights.
The development of international law also brings impacts on the protection on human rights. Prior to Word War II, international law consisted chiefly of relation between states. In traditional international law the individual played an inconspicuous part. What a state did inside its border in relation to its own nationals remained its own affair, a matter of domestic jurisdiction. Thus under traditional notions of sovereignty, the rights of individual citizens within a nation were generally beyond the scope of international law.
Following World War II especially after the Nuremberg Tribunal, there was a dramatic change in international law. Individual then become the subject of international law. The contemporary international law of human rights reflects general acceptance that how a state treats individual human being, including its own citizens, in respect of human rights, is not the state’s own business alone, but is a matter of international concern and a proper subject for regulation by nternational legal community.
The later developments of international human rights were marked by several conventions and agreements both in international level and regional level. Following The Universal Declaration on Human Rights there are the International Covenant on Civil and on Economic, Social and Cultural Rights, and The International Covenant on Civil and Political Rights further clarified the scope and definition of human rights. The development also happened at regional level such as, the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom, the American Convention on Human Rights and so on.
The limited legislative history does not indicate Congress precise purpose in enacting section 1350, but that purpose may be derived from the overreaching design of the federal judiciary, of which the statue is a part. The framers of the First Judiciary Act sought to place question of national import, such as those involving the law of nation or treaties, within the hand of the federal judiciary. The rational underlying section 1350 was much the same as that underlying the Act’s grant of diversity jurisdiction incases involving citizens of different states.
The ATCA requires a tort and a violation of international law in order for a federal court to exercise jurisdiction. With the development of international law the coverage of the ATCA should also follows the development. The judges that hear the cases have an important role in adjust the ATCA with the development in international human rights. One of the approaches that can be applied by the judges is by using Customary International Law, thus not only based on jus cogent.
III. Seeking for Mechanisms to Enforce Court Judgments against Defendant Living outside the United States.
A. Court Decisions under the ATCA and Their Enforcement
The ATCA provides jurisdiction for federal court for an action by an alien under tort only, committed in violation of a treaty of the United States or the law of nation. Even though the reasons for its inclusion in the Judiciary Act of 1789 remain unclear, Congress apparently believed that the provision of remedies in federal court for aliens victimized by violations of international law was an important aspect of the new republic’s responsibilities as a member of the community of nations. However the statue lapsed into disuse until the 1980s, when growing interest in the protection of human rights and the emergence of advocates familiar with the body of international human rights law sparked a revival.
For nearly 200 years after its passage, the ATCA was rarely used. It was not until 1980 in Filartiga, that the ATCA was successfully used to establish that the law, even when the case involves acts perpetrated in another country by a non-United States citizen. In this landmark case Paraguayan citizen successfully used the ATCA to recover the damages in the federal court from a former Paraguayan official for acts of official torture that had occurred in Paraguay.
In this case, in the district court, the case was dismissed for lack of subject matter jurisdiction. The Second Circuit reversed and remanded, sustaining jurisdiction under the Alien Tort Claims Act. Following remand the defendant defaulted. The District Court granted a default judgment and referred the question of damages to a Magistrate, who recommended awarding only compensatory damages. The plaintiff objected, and District Court awarded damages of over $10 million, including punitive damages.
There are some others court decisions that approved the application of the ATCA toward human rights violation happened in foreign country and granted remedy to the plaintiff. In Forti v. Mason, the District Court upheld jurisdiction and allowed plaintiffs’ claims of torture, prolonged arbitrary detention and summary execution to proceed, but dismissed two others claims: disappearance and cruel, inhuman or degrading treatment. Plaintiffs filed a motion for reconsideration the court granted in part, accepting the claim of disappearance and cruel but again rejecting the claim of cruel, inhuman and degrading treatment. .
In claim against former president of Philippine, the District Court of Hawaii and California dismissed five lawsuits. The Ninth Circuit reversed and remanded with an unpublished opinion. The Consolidate cases were remanded to the District Court in Hawaii, which held a three phase trial (liability, punitive damages and compensatory damages). The jury awarded a total of $1.2 billion in punitive damages and $766 in compensatory damages. The final judgment for the plaintiffs was entered in February 1995.
In the meantime, two related cases have reached the Ninth Circuit. In Trajano v. Marcos, a mother sued Marcos’ daughter, Imee Marco-Manotoc, as well as the Marcos estate, for the kidnapping, torture and murder of her son. Marcos-Manotoc appealed, challenging subject matter jurisdiction. The Ninth Circuit affirmed the default judgment. In separate appeal, the Marcos estate challenged a district court injunction freezing Marcos’ bank account in Switzerland, but the Ninth Circuit upheld the injunction.
Even though several claims under the ATCA have success and the court granted the judgment, but many others were failed due to various reasons. In Tel-Oren v. Libyan Arab Republic, the District Court dismissed the claim for lack of subject matter jurisdiction. Although unanimous in decision, to affirm dismissal, the panel divided sharply on the rationale. Judge Edwards agree with the Filartiga holding that individuals may sue for violations of the law of the nations, but found insufficient international consensus to indicate that either terrorism or nonofficial torture violate the law of nations. The Judge Bork suggested that separation of powers concern mandate requiring individual to demonstrate an express grant of private cause of action before allowing them to invoke section 1350. The judge Robb, third judge on the panel, stated that all human rights claim under section 1350 are
nonjustifiable political questions.
The decisions discussed above show that the judge are still different in understanding the ATCA, especially in the concept of law of nations. The main differences lay in the question whether the act of state and political question doctrines or separation of powers concern they embody, necessarily bar the use of section 1350 in actions, claiming of the international law of human rights. Another difference that frequently appeared in the court decision is, whether the law of nations covers the meaning of jus cogens and customary international law or just jus cogens.
In order to give more protection to human rights, the court should construe the ATCA to accommodate the evolutionary character of international law. Under proper circumstances, courts should entertain the ATCA claims for human rights violation. The approach of the courts that requiring a jus cogens threshold, threaten to undermine the ATCA’s potential by unduly restricting the scope of actionable claims and by engaging in a mere superficial glance at international law sources to determine cognizable claims.
In understanding several court decisions however, there are some promising policies taken by the court especially in granting compensatory judgment for the claimants. That policy shows that the protection of the human rights and the application of the ATCA are not just for the personal satisfaction, but also want to remedy the pain and distress suffered by the victims. And the most important thing is that the defendant should feel that they must pay include with their properties.
B. The Enforcement of Court Judgment
Even though the courts have awarded millions of dollar in judgment against violation of human rights, there still remains a more serious problem that is in the enforcement of court judgment. Multi-million dollar judgment in prior ATCA cases have gone uncollected, with the exception of a paltry $400 collection from Argentine General Suarez-Mason Within the United States, the states consider judgment of the courts of other states as foreign judgment guaranteed recognition through the Full Faith and Credit Clause of Art. IV §1 of the Constitution. Money or property judgment rendered in a federal district court must first be registered in another district by filing a certified copy of the judgment with the district court in the state. Registered judgments have the same effect as judgment of a district court of a district where registered and may be enforced in like manner. The judgment generally must be final and no longer subject to appeal, although it can be registered before all appeals are exhausted when ordered by the court that entered the judgment for good cause shown.
Enforcement of money judgments under Federal rule of procedure is achieved through a writ of execution and in accordance with the practice and procedure of the enforcing state, except that any federal statue governs to the extent that it is applicable. A wining plaintiff may obtain discovery from any person, including the judgment debtor, in seeking execution of the judgment.
The United States procedures, both at states and federal level however should have been enforced maximally to secure a judgment under ATCA. In Filartiga for instance the court failed to enforce the judgment because the defendant had been left the United States. The court should have ordered to register the defendant assets before deporting him out of the United States. It is true that there is a problem with legal certainty, because the defendant has been forced to surrender their property before the case not yet been settled. But, such a procedure should be taken to maximize the application of court judgment. However, at first, there must be some improvements of the ATCA that include mechanisms to enforce court judgment especially against defendant living the United States.
There are some problems in enforcing the compensatory judgment. First, most defendants either have no assets in the United States or arrange to transfer assets out of the country in the months or years that the litigation is spending. Second, efforts to enforce judgment in other countries face a series of difficulties: assets must be located and frozen in place while legal attachment proceedings are initiated and the foreign judicial system must be convinced to enforce the United States judgment.
C. Seeking for Possible Mechanisms to Enforce Foreign Judgment
From the past experience it seems that it was very difficult to enforce the judgment against defendant living outside the United Sates. The enforcement of foreign judgment commonly proceeds from notions of comity. Nonetheless, this approach will apply certain exceptions that may prevent enforcement. Although each state determines for its self what exceptions to apply, a failure of jurisdiction typically is included.
Such difficulties can be avoided if there is an agreement between the United Stated and the country where the defendant’s assets located. However, at present the United Stated has no treaties with any country regarding the general enforcement of money judgment. The only treaty that appears to be seriously pursued was with England. Unfortunately it was never adopted, allegedly because of serious reservation the English had regarding American tort and treble damage antitrust judgment.
It seems that the treaty is to general and raises the reservation to the England. To avoid the reservation, the scope of the treaty should be limited to the enforcement of tort in human rights violation claims. If bilateral approach results in difficulties in overcoming the problem in enforcing foreign judgment, there should have been through other approach such as regional or international agreement. First, the efforts should be directed on the countries that have the same legal historical heritage, such as countries with Anglo-American system. Because there are many similarities, it may be easier to reach multilateral agreement. Second, is through international agreement, especially under the United Nation.
The experiences also show that the United Nation has been successful in adopting several international agreements on Human Rights. If the United Nation has been successful in adopting several agreements on the protection of human rights, it should also be able to reach an agreement in finding the mechanism to enforce foreign judgment in violation of human rights? It may be need a lot of time and energy, however, such an effort must be begin from now on.
Another mechanism that can be adopted through international agreement is by extent the scope international tribunal so that it can be asked to hear a motion from a court where the judgment has been granted, to seizure or confiscate the assets or property of defendant. If such a motion be granted, the judge can ask a member state to enforce the judgment. If that is still not success, the problem can be brought to the United Nation, to be discussed in the General Assembly or Securities Council.
However, the most important is that although criminal law prosecution of those who violate human rights is an essential part in progress toward preventing and punishing such violations, the civil remedy currently should be a valuable tool as well. Thus, all effort should also be taken not only to reach a judgment, but also to enforce the judgment, through any internal, regional or international possible legal mechanism.
IV. Conclusion
The application of the ATCA and the TVPA has strengthened the protection of human rights, especially abuses committed outside the United Stated. The Filartiga has brought new approach to the protection of human rights in the United States and supported the award of civil remedy for the victim suffered form human rights abuses. However the ATCA and its application have not guaranteed the enforcement of the judgment against the defendant living outside the United States.
In order to strengthen the protection of human rights and provide the victims with financial compensation for their injuries and suffering, the ATCA should be amended with the inclusion of mechanisms to enforce the judgment. Since the application of the ATCA always involves foreign country, the United States should pursue both bilateral and multilateral agreement to find mechanisms to assure the enforcement of a judgment for foreign defendant.

REGULASI ANTIDUMPING DALAM KERANGK A GATT/WTO DAN IMPLIKASINYA BAGI DUNIA USAHA Oleh: Yoserwan

REGULASI ANTIDUMPING DALAM KERANGK A GATT/WTO DAN IMPLIKASINYA BAGI DUNIA USAHA
Oleh: Yoserwan

I. Pendahuluan
Situasi dan kondisi perdagangan internasional dalam era globalisasi ditandai dengan semakin kompleksnya dan ketatnya persaingan antar negara. Keadaan tersebut telah menimbulkan berbagai tindakan yang menghambat perdagangan serta praktek perdagangan yang tidak jujur untuk memenangkan persaingan tersebut yang dilakukan oleh pelaku-pelaku bisnis, ataupun melalui tindakan oleh sebuah negara terhadap produk negara lainnya.
Sebenarnya habatan terhadap pasar dapat dikelompokkan atas hambatan yang bersifat tariff dan non-tariff (tariff barrier dan non-tariff barrier). Hambatan tariff merupakan pengenaan bea masuk dan bea lainnya yang tinggi sehingga oleh suatu negara sehingga barang tersebut kurang mempunyai daya saing dibanding dengan produk sejenis dalam negeri. Hambatan non-tarif berupa tindakan selain pengenaan bea terhadap barang impor, seperti penerapan standar tertentu yang sulit dicapai oleh barang impor sehingga produk tersebut tidak dapat dijual di negara tersebut
Dumping dalam perdagangan internasional sudah lama menjadi permasalahan karena dianggap sebagai salah satu praktek yang tidak adil (unfair) karena dapat menjadi distorsi prinsip ekonomi pasar. Secara lebih luas damping sebenarnya sudah dilarang oleh General Agreement on Tariff and Trade tahun 1945. Namun issu anti dumping kembali mencuat dalam Kennedy Raound 964-1967 yang melahirkan Andtidumping Code. Selanjutnya issu antidumping ditampung dalam GATT Tahun 1994 yang menjadi bagian dari WTO.
Mengingat Indonesia sebagai anggota GATT/WTO, dan dengan Undang-Undang No.7 tahun 1994 tentang ratifikasi WTO, maka Indonesia berkewajiban untuk mengikuti seluruh kesepakatan yang sudah dicapai. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut Indonesia sebenarnya sudah memberlakukan Undang-Undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan serta peraturan terkait lainnya yang mengacu pada ketentuan GATT/WTO tersebut.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas pengaturan atau pelaksanaan ketentuan anti Damping di Indonesia atau membahas secara tuntuas seluruh pengaturan GATT/WTO mengenai antidumping. Tulisan ini hanya mencoba mengkaji Pengaturan anti damping dalam Kerangka GATT/WTO serta konsekwensi dan implikasinya bagi Indonesia sebagai negara anggota. Dengan itu diharapkan memberikan gambaran secara umum tentang pengaturan Anti damping, guna mengambil langkah antisipasinya.

II. Dumping dalam Kerangka GATT/WTO
Pengaturan Antidumping dalam GATT termuat dalam Pasal VI yang memuat aturan tentang Anti-Dumpin an Countervailing Duties. Ketentuan ini pada dasarnya mengharuskan negara anggota untuk mengimplementasikan ketentuan anti dumping GATT dalam hukum nasional masing-masing. Mengingat ketentuan dalam Pasal VI tersebut hanya merupakan garis besar pengaturan antidumping, maka untuk pelaksanaannya dibuat aturan yang lebih rinci yakni dalam Antidumping Code yang mulai disepakati dalam Tokyo Round tahun 1979. Ketentuan pelaksanaan ini kemudian diganti dengan Antidumping Code tahun 1994 denga judul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994.
Antidumping Code 1994 ini pada dasarnya merupakan salah satu Multilateral Trade Agreement yang ditandatangani bersamaan dengan perjanjian pendirian WTTO yakni Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) di Marrakesh tahun 1994. Dengan demikian Antidumping Code tidak lagi perjanjian tambahan melainkan sudah menjadi bagian dari perjanjian WTO itu sendiri.
Sejalan dengan itu GATT juga mengatur masalah Subsidi yang juga dapat mengganggu upaya pencapaian sistem ekonomi pasar, sehingga menurut Pasal VI GATT tahun 1994 dapat melahirkan Countervailing Duties. Pengaturan mengenain Subsidi terapat dalam Pasal XVI GATT 1994. Sedangkan pengaturan yang lebih rinci terdapat dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures beserta peraturan tambahan yang termuat dalam Annexnya.
B. Konsep dumping
Secara umum dumping diartikan sebagai tindakan untuk mengekspor suatu produk dengan harga yang lebih rendah dari harga jual produk tersebut dalam negeri atau menjual dengan harga di bawah ongkos produksi barang tersebut. Tindakan ini biasanya dilakukan dalam rangka untuk merebut pangsa pasar di negara lain. Kerugian yang mereka alami diharapkan dalam jangka panjang akan di pulihkan kalau mereka sudah menguasai pasar sehingga bisa menjadi price leader dalam produk, dan kemudian dapat menaikan harga ke tingkat harga monopoli.
Sepintas lalu kelihatan praktek dumping sejalan dengan bersaingan bebas karena menguntungkan konsumen dengan membeli produk dengan harga yang lebih murah. Namun tidak dapat dingkari bahwa sebuah perusahaan yang memiliki posisi yang kuat bukan tidak mungkin berpeluang menjadi predator.
Dengan adanya praktek dumping maka perusahaan dalam negeri yang memproduk barang yang sama akan mengalami kerugian karena kalah bersaing dengan barang impor tersebut. Akibatnya industri produk akan terancam bangkrut dan selanjutnya secara keseluruhan negara akan dirugikan. Untuk mengindari kerugian tersebut maka negara dapat melakukan tindakan pencegahan dengan menerapkan aturan antidumping yang memungkinkan negara merepkan bea tambahan (anti-dumping duties) atas produk tersebut sehingga hargaya akan lebih tinggi. Dengan demikian produk dalam negari dapat bersaing dengan produk dumping tersebut.
Secara teoritis pengaturan damping hanya ditujukan untuk menjamin terlaksananya perdagangan yang fair. Namun dalam prakteknya pengaturan antidumping sudah menjurus untuk memproteksi produk dalam negeri. Bahkan dalam perkembangannya peraturan antidumping diterapkan oleh negara dan pengusaha suatu negara untuk mengeleminir persaingan sehingga akhirnya juga melahirkan praktek usaha yang tidak fair. Dengan dasar pertimbangan itulah lahir upaya membuat kesepakatan antar negara agar penerapan anti dumping dalam hukum nasional tidak digunakan secara semena-mena. Upaya itu akhirnya melahirkan kesepatan dalam GATT dan Antidumping Code seperti yang dikemukakan di atas. Dengan demikian ketentuan ini menjadi standar atau acuan bagi ketentuan antidumping bagi anggotanya.

III. Penentuan Dumping
Dumping dalam yang luas seperti yang dikemukakan di atas yakni tindakan mengekspor suatu produk dengan harga yang lebih rendah dari yang dijual dalam negera atau menjual produk di bawah biaya produksi, pada dasarnya belumlah menjadi perbuatan yang dilarang dan dapat melahirkan tindakan anti dumping.
Untuk dapat dilarangnya suatu dumping harus menuhi unsur-unsur yang termuat dalam Pasal VI GATT. Walaupun secara sepintas rumusan ketentuan tersebut sederhana namun dalam prakteknya membutuhkan suatu perhitungan dan kajian yang cukup kompleks untuk menentukan sudah terjadi atau tidaknya suatu dumping yang dilarang dan dapat dikenakan beamasuk antidumping.
Dalam Pasal VI GATT dinyatakan bahwa dumping yang dapat melahirkan tindakan antidumping haruslah:
a. harga produk ekspor tersebut di bawah harga normal (normal value)
b. tindaka tersebut :
i. menyebabkan kerugian material (material injury); atau
ii. mengancam tibulnya kerugian material (threaten to materially injury) bagi industri domestic produk tersebut; dan
iii. secara material menghalangi pengembangan (materially retards the establishment) industri dalam negeri.
Selanjutnya ketentuan tersebut menyatakan bahwa suatu produk dijual dalam perdagangan (introduce into the commerce) di bawah narga normal bilamana harga produk tersebut:
a. lebih rendah dari harga pembading produk (comparable price) tersebut dalam perdagangan yang normal atau umunya ordinary course of trade) dari produk sejenis (like product) yang ditujukan untuk komsumsi di negara pengekspor.
b. bila harga domestic tersebut tidak ada, maka harga tersebut harus lebih rendah dari:
i. harga pembanding tertinggi dari produk sejenis untuk diekspor ke negara ke-tiga dalam perdagangan yang normal; atau
ii. biaya produksi barang tersebut di negara asal (country of origin) ditambah dengan biaya penjualan dan keuntungan yang layak (reasonable)
A. Penentuan Harga
Persolan yang cukup pelik dalam penerapan ketentuan anti damping ini adalah penerapan secara konkrit berbagai konsep dalam ketentuan tersebut. Persoalan pertama adalah berkaitan dengan penentuan harga ekspor (export value) dan harga normal (normal value). Secara umum harga ekspor adalah: “ ex factory price without shipping charge) at which a product is sold to an unaffiliated or unrelated buyer in importing country. When a price charges for a product does not reflect an arms length or freely negotiated transaction”. (Harga pabrik tanpa dikenai biaya pengiriman dari harga tesebut dijual kepada pembeli bebas di negara pengimpor. Bila harga tersebut tidak dapat dipercaya (karena kerjasama atau pengaturan antara eksportir dan importer atau pihak ketiga, maka harga ekspor ditentukan berdasarkan harga yang dikonstruksikan (constreucted value). Dalam praktek penentuan harga itu juga mengalami berbagai penyesuaian atau adjustment sesuai dengan bentuk penjualan. Kedua pihak dapat saja berbeda dalam menentukan harga ekspor tersebut.
Harga normal ditentukan berdasarkan: “ the price at which “like product” are sold in the exporting or producing country for consumption, in the ordinary course of business and at the same level of trade- in other words, comparing wholesale sale to wholesale sale, or retail to retail- as the dumped product. If insufficient quantities of like products are sold in the exporting country with which to make a fair comparison, then normal value is calculated on the basis of sales to third countries, on the basis of constructed value. Constructed value is calculated on the basis of what it might actually cost to produced to the product in the exporting country, plus a reasonable profit. (harga jual dari produk sejenis di negara pengekspor untuk tujuan konsumsi dalam perdagangan yang biasa atau normal dan pada tingkat perdagangan yang sama.) Jika jumlah produk sejenis yang dijual di negara pengekspor tidak tidak mencukupi untuk membuat perbandingan yang benar, maka harga normak dihitung berdasarkan penjuala di negara ketiga dengan dasar harga konstruksi. Harga ini dihitung dengan dasar biaya produksi produk tersebut di negara pengekspor ditambah dengan keuntungan yang wajar). Yang pasti negara penuduh (petitioner) selalu menginginkan penilaian yang lebih rendah terhadap harga ekspor dan menaikkan perhitungan harga normal. Sedangkan pihak tertuduh tentu akan berupaya sebaliknya.
Dalam penetapan harga seperti di atas harus juga dipahami konsep terkait, terutama sekali berkaitan dengan pengertian produks sejenis (like product) dan kegiatan perdagangan yang biasa atau umum (ordinary course of trade).

Produk Sejenis
Menurut Pasal 2.6 Agreement on implementation of Article VI of the GATT, produk sejenis adalah produk yang identik dalam segala aspek dengan produk yang diduga dumping. Produk seenis itu dapat berupa:
- barang yang dijual di negara pengekspor; atau
- barang yang diekspor ke negara ketiga;
-barang yang dimpor oleh negara penuduh.
Apabila tidak terdapat produk yang sama dalam segala aspeknya maka produk sejenis adalah produk serupa yang karakternya mendekati produk yang diduga dumping.
Perdagangan yang Umum
GATT Agreement tidak menentukan maksud perdagangan yang umum. Tetapi Article 2.2 Agreement on Implemention of Article VI menentukan bahwa yang tidak termasuk peragangan yang biasa adalah produk sejenis di dalam negeri negara pengekspor atau penjualan ke suatu negara ketiga dengan harga (Fixed and variable) produksi per unit di tambah biaya umum, penjualan dan administrasi jika perbuatan dilakukan:
a. Dalam penjualan waktu (1 tahun atau tidak kurang dari enam bulan dengan jumlah yang substansial (harga penjualan rata-rata tertimbang lebih rendah dari biaya per-unit tertimbang atau volume penjualan yang di bawah biaya produksi per unit itu kurang dari 20% dari total volume penujualan yang dihitung untuk penentuannormal value; dan
b. Harga-harga penjualan di bawah biaya produksi per unit tersebut tidak dapat menutupi semua biaya dalam waktu yang wajar. Tetapi jika harga-harga penjualan di bawah biaya produksi perunit tersebut di atas biaya per unit rata-rata tertimbang selama periode diselidiki, maka harga –harga tersebut tentunya dapat mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan.
Syarat a dan b di atas bersifat kumulatif sehingga untuk mengabaikan penjualan-penjualan di bawah biaya rata-rata perunit tersebut harus memenuhi kedua syarat itu.


Konsumsi Dalam Negeri Negara Pengekspor
Agreement on Imlementation Article VI tidak menentukan dengan tegas pengertian untuk konsumsi dalam negeri. Hal itu menyulitkan bila produsen menjual ke perusahaan dalam negeri namun kemudian dieskpor dengan harga dumping.

B. Penentuan Kerugian
Dalam Pasal VI GATT kerugian akibat damping mencakup pengertian:
a. Material injury yakni kerugian yang dialami oleh industri domestic yang memproduksi barang sejenis. Kerugian dihitung dalam periode waktu yang diselidiki ( investigation period).
b. Threat to material injury yakni ancaman akan menimbulkan kerigian materil bagi industri dalam negeri yang memproduksi bang sejenis. Dengan demikian kerugian belum terlihat dalam periode waktu yang diselidiki tetapi ada ada gejala akan melahirkan kerugian.
c. Materally retards yakni mengganggu pengembangan industri dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis
Untuk menentukan kerugian yang diderita harus mengkaji faktor-faktor terkait yakni:
i. volume impor produk dumping;
ii. pengaruh impor terhadap harga produk sejenis di pasar negara pengimpor;
iii. pengaruh terhadap produsen produk sejenis.
Volume impor ditentukan berdasarkan apakah volume impor secara absolute (per unit) atau secara relative (persentase) meningkat cukup signifikan terhadap produksi atau konsumsi produk sejenis tersebut.
Pengaruh terhadap harga di negara pengimpor dipertimbangkan dari apakah harga impor lebih rendah atau telah menyebabkan terjadinya pemotongan harga yang cukup signifikan bagi barang sejenis atau apakah impor tersebut sukup berarti dalam menurunkan harga atau menekan atau mencegah kenaikan harga barang sejenis di negara pengimpor.
Pegujian dampak impor terhadp industri domestic ditentukan berdasarkan:
a. Apakah terjadi penurunan indeks dan factor ekonomi yang relevan pada industri dalam negeri di negara pengimpor seperti penurunan penjualan, laba, output, produktivitas dan yang lainnya.
b. Factor yang mempengaruhi harga dalam negeri.
c. Besarnya marjin dumping.
d. Pengaruh negatif yang nyata atau potensial pada cash flow, inventori, tenaga kerja, gaji, pertumbuhan kemampuan peningkatan modal dan investasi,

C. Hubungan sebab akibat
Harga dan dampak saja belum melahirkan dumping yang dilarang dalam kerangka WOT/GATT. Untuk itu harus dibuktikan adanya pengaruh dumping tersebut terhadap kerugian industri dalam negeri. Untuk itu harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat berdasarkan bukti yang relevan. Dengan kata lain apakah kerugian tersebut tidak disebabakan oleh faktor lain seperti kecendrungan ekonomi atau kondisi ekonomi di negara yang bersangkutan.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah:
-volume dan harga barang impor yang tidak dijual dengan harga dumping
-kontraksi permintaan;
-faktor pengekang perdagangan dan persaingan antara produsen dalam negeri dan asing;
-pengembangan teknologi
-kinerja ekspor dan produktivitas industri
Yang perlu dicermati oleh eksportir adalah penerapan indicator merugikan indusri dalam negeri oleh Aturan Antidumping yang cendrung proteksionis. Hal itu terjadi bilamana nebenarnya hubungan secara langsung dan penggunaan bukti yang tidak tepat.
IV. Konsekwensi dan Implikasi Pengaturan Antisumpung
Dengan dimuatnya pengaturan antidumping dalam GATT/WTO maka segara anggota terikat untuk mengikuti ketentuan tersbut. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, mengingat dumping dilakukan oleh pihak swasta bukan pemerintah, maka tentu saja perintah suaut negara anggota tidak termasuk pihak yang melanggar ketentuan tersebut. Negara anggota hanya berkewajiban membuat aturan antidumping yang mengacu pada Article VI GATT 1994 dan Agreement on Implementation of Article VI. Dengan demikian negara anggota hanya mungkin menghadapi konsekwesni kalau membuat aturan yang tidak sejalan dengan GATT atau salah menafsirkan ketentuan GATT tersebut.
Bila suatu negara salah menafsirkan penerapan aturan dumpingnya yang tidak sejalan dengan GATT maka negara yang produknya dituduh damping dapat membawa sengketa tersebut Dispute Settlement Body (DSB) dari WTO untuk dilakukan negosiasi dan penyelesaian negara yang bersengketa. Tentu saja pengajuan tersebut harus dengan dorongan pengusaha yang terkena dampak damping tersebut.
DSB terlebih dahulu akan memfasilitasi negosiasi antara negara yang terlibat sengketa tersebut. Kalau upaya negosiasi tidak berhasil maka DSB akan membentuk sebuah panel yang akan memeriksa dan memutus sengketa tersbut. Kewenangan panel hanya akan memeriksa apakan keputusan yang sudah diambil oleh lembaga antidumping negara yang diajukan salah (misinterpreted) dalam memahami ketentuan GATT dan peraturan pelaksananya atau apakah lembaga tersebut dalam melaksanakan prosedur antidumping tidak bias atau objektif dalam melaksakana prosedur yang termuat dalam GATT.
Kalau panel menemukan adanya pelanggaran, maka panel dapat merekomendasikan tidakan yang dapat dilakukan oleh negara yang mengajukan kasus tersebut. Sebaliknya panel tidak dapat meninjau hasil pemeriksaan atau berkaitan dengan fakta atau keputusan yang dibuat oleh lembaga antidumping suatu negara.
Implikasi yang timbul dari pengaturan dumping adalah permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha Indonesia yang melakukan ekspor ke negara lain. Walaupun setiap negara anggota WTO pada dasarnya harus memenuhi ketentuan standar yang terbuat dalam GATT dan peraturan pelaksananya, namun terdapat peraturan yang tidak sejalan dengan ketentuan tersebut, atau kesalahan dalam memuat aturan, mengingat ketentuan damping seperti ketentuan GATT/ WTO lainnya sangat rumit dan multiinterpretasi.
Di samping itu dengan semakin meningkatnya persaingan antar negara sementara kalangan melihat bahwa pelaksanaan dumping dapat menjurus kepada bentuk proteksionisme baru. Bahkan ada kekutiran penggunaan ketentuan ini oleh negara-negara maju semakin meningkat dan melahirkan proteksi yang tersembunyi:
“Part of the reason for the controversy over the use of AD duties stems from the fact that in recent years several major trading countries have used them extensively, which has raised concerns that they may have become a disguised form of protectionism At the same time a number of developing counties have started to make the use of such laws which has further heighten those concern”.

Statistik WTO menunjukkan bahwa pnyelidikan kasus antidumping oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Canada, Uni Eropah dan Australia sekitar 140 kasus per tahun. Antara tahun 1990-1994. Jumlah itu meningkat menjadi 250 kasus per tahun dalam tahun 1995-1999. Penggunnan ketentuan antidumping ini juga semakin diikuti oleh negara lain seperti Brazil, India, Meksiko dan Afrika Selatan.
Mengingat kondisi tersebut sebenarnya selain mencermati praktek dumping oleh negara lain yang berdampak terhadap industri dalam negeri, pada saat yang bersamaan kita harus mencermati penerapan ketentuan antidumping oleh negara lain yang juga tentunya akan berdampak industri atau eksportir Inonesia. Langkah yang terbaik tentu saja semaksimal mungkin menghindari tuntutan praktek dumping, sebab begitu tuntutan diajukan akan langsung berdampak terhadap ekspor karena tindakan sementara yang dapat dijatuhkan dapat memicu kenaikan harga aproduk yang sekaligus mengurangi daya saing produk Indonesia. Tak kalah pentingnya adalah peranan pengusaha dan pemerintah Indonesia untuk menjalin hubungan baik dengan dunia usaha dan pemerintahan negara lain karena ancaman antidumping dapat sebelumnya diselesaikan melalui proses negosiasi.

V. Penutup
Dengan diaturnya anti damping dalam GATT/WTO, maka setiap negara anggota berkewajiban membuat dan melaksanakan ketentuan antidumping yang mengacu kepada pengaturan tersebut. Pengaturan antidumping oleh negara anggota WTO sebaliknya menutut pelaku usaha khususnya eksportir untuk memperhatikan impor yang mereka lakukan agar tidak dituduh melakukan praktek dumping.
Ada kekuatiran ketentun antidumping dilaksanakan secara berlebihan khususnya oleh negara maju dan dipandang sebagai bentuk baru dari proteksionisme. Kecendrungan itu menuntut eksportir lebih mencermati pelaksanaan eskpornya untuk menghindari tuntutan damping oleh pihak yang dirugikan. Di pihak lain kita perlu mencermati ketentuan dan penerapan ketentuan antidumping oleh negara lain, sehinga industri dalam negeri tidak mengalami kerugian.








Daftar Pustaka
Aji Setiadi, Antidumping dalam Perspektif Hukum Indonesia, dalam PPH Newsletter, No. 43/81/Desember/2000,
John H. Jacson, International Economic Relation, Cases, Materials and Text, Fourth Edition, West Group, St. Paul Minn, 2002
Raj Bahala, Rethingking Antidumping Law, George Washington International Law Journal and Economi, Vol.1 Tahun 1995
Richard Schaffer, Baverly Early , Filiortto August, International Business Law and Its environtment, West-Thompson, USA, 2003,
Thomas L. Friedman, Understanding Globalization, The Lexus and The Olive Trees, Anchor Books, New York, 2000
http://www.kadi.or.id/materi%20produser.htm